Minggu, 20 November 2011

Introducing Wakaf Saham

Perkembangan ekonomi syariah telah menunjukkan pertumbuhan positif di negeri ini. Maraknya bank syariah yang bermunculan di negeri ini adalah salah satu parameter bahwa masyarakat Indonesia yang notabene adalah negeri muslim mayoritas sangat tepat bagi tumbuhnya ekonomi syariah. Munculnya instrument – instrument ekonomi berbasis syariahpun kian meramaikan khasanah perekonomian di negeri ini. Salah satu yang saat ini masih sangat menarik untuk dikaji adalah pasar modal syariah. 

Fatwa MUI bernomor 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Syariah di Pasar Modal dan Indeks Saham Syariah Indonesia memberi peluang baru bagi badan-badan wakaf untuk menginvestasikan aset-aset secara lebih progresif. Fatwa MUI tersebut merujuk ba’i al-musawamah, sah syariah, qabdh hukmi, dan ujroh. 

Kepala Unit Bisnis Pengembangan Pasar Pada Divisi Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Irwan Abdalloh menjelaskan bahwa akad yang digunakan dalam mekanisme perdagangan efek bersifat ekuitas di pasar reguler BEI adalah Ba'i Al Musawamah. Sedangkan akad jual-beli telah dianggap sah secara syariah pada saat transaksi terjadi. Di pihak investor beli, diperbolehkan secara syariah untuk menjual kembali Efek yang dimilikinya sebelum T+3 berdasarkan prinsip qabdh hukmi. Terakhir, SRO diperbolehkan secara syariah mengenakan ujroh (biaya) atas setiap tahap dalam mekanisme perdagangan Efek bersifat ekuitas di pasar reguler Bursa Efek.

"Fatwa no 80 DSN-MUI tentang mekanisme syariah perdagangan saham merupakan jawaban bagi masyarakat yang selama ini masih mempertanyakan kesyariahan dari transaksi saham di pasar reguler BEI," ujar Irwan sebagaimana laporan Okezone.com.

Selama ini, diakui, masih banyak orang yang masih mempertanyakan apakah sistem perdagangan di BEI telah memenuhi prinsip syariah mengingat Bapepam-LK telah mengeluarkan Daftar Efek Syariah sejak tahun 2007." Terbitnya fatwa diharapkan menepis keraguan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal,” tandasnya.

Tabung Wakaf Indonesia saat ini telah diberi amanah  oleh empat wakif yang telah mewakafkan saham – sahamnya. Hal ini menjadi energy positif bagi pengembangan pengelolaan program investasi wakaf. Memang aturan tentang wakaf uang untuk investasi melalui saham syariah atau wakaf saham belum ada. Namun pada kenyataanya wakifnya sudah ada.

Model wakaf saham yang hisa dilakukan ada tigal hal. Yaitu : wakaf saham oleh wakif kepada nazdir, wakaf uang kemudian nadzir akan membelikan saham sebagai program investasinya, wakaf deviden saham dimana saham masih atas nama wakif dan devidennya saja yang akan diwakafkan. Pengelolaan investasi saham tentu harus sesuai syariah. Semua saham wakaf harus dalam saham – saham yang termasuk di JII (Jakarta Islamic Index). Adapun analisa yang dipakai cukup menggunakan analisa fundamental saja dengan mengabaikan analisa technical karena wakaf saham tidak diperbolehkan untuk ditradingkan (sesuai kaidah syariah).

Tabung Wakaf Indonesia memilih empat bulanan sebagai waktu evaluasi saham syariah yang ada. Jika wakif berwakaf masih dalam saham – saham konvensional maka TWI akan mengkonversinya terlebih dahulu ke dalam saham – saham syariah. Selain mengenai waktu evaluasi, kami memerlukan opini ahli investasi dan semua proses baik jual, beli disertai dengan release dan dilakukan oleh perwakilan kami di bursa sehingga bisa dipertanggung jawabkan secara administrasi dan mengurangi resiko kesalahan oleh human (human error).

Wakaf saham merupakan salah satu terobosan model / skema pengelolaan wakaf yang perlu dikaji lebih jauh dan mendalam dan segera dibuatkan undang – undang atau peraturan yang menaguinya. Menjadi tugas teman – teman di BWI sebagai regulator untuk segera mengkajinya dan membuat peraturannya. Kami sebagai operator wakaf sangat menunggu akan peraturan akan wakaf saham syariah. Namun jika tidak segerapun kami akan terus berjalan untuk terus berinovasi, menciptakan model / skema yang baru untuk kemajuan program wakaf.



Senin, 14 November 2011

Membina calon Muzaki atau Muwakif sama pentingnya dengan memberdayakan mustahik dan maukuf alaih

Memikirkan benang kusut kemiskinan di negeri ini, terkadang membuat saya frustasi sendiri. Setelah sekian lama Dompet dhuafa dan lembaga LAZ berkutat mengurus kemiskinan, namun kok ada saja orang miskian bahkan bertambah terus. Hal itu terjadi karena kemiskinan struktural dan kemiskinan akibat bencana. Hingga mungkin pengurangan angka kemiskinan yang diberdayakan sudah ada, namun muncul orang  - orang miskin baru karena salahnya kebijakan yang tidak berpihak kepada yang lemah atau karena bencana.

Belajar dari Turki yang mulai beranjak menjadi negara menengah  yang banyak diprediksi akan menjadi negara besar dimasa mendatang. Setelah menemukan sosok leader yang bagus maka lini selanjutnya adalah menggandeng para pengusaha. Karena memang lini hulu (para pengusaha) adalah bagian yang sangat taktis dan berdimensi strategis dalam ikut memberdayakan orang - orang dalam penciptaan lapangan kerja. Dengan bekerja, orang - orang menjadi berdaya dan mampu menghidupi dirinya sendiri sehingga tidak bergantung kepada lembaga LAZ dan para aghniya secara konsumsi saja.

Pembinaan terhadap para entrepreneur sangatlah penting. Selain membekali mereka dengan skill dalam berbisnis, Perlu juga  pendampingan dalam attitude sehingga jika benar – benar menjadi entrepreneur yang berhasil mereka tetap berada dalam koridor  yang benar. Begitu pentingnya hulu dalam rantai kemiskinan di negeri ini. Hulu yang dimaksud adalah kaum yang akan mengangkat para mustahik untuk lebih berdaya dan berubah posisinya dari mustahik menjadi berdaya yakni muzaki. 

Hal sangat menarik dan perlu didukung  adalah gerakan Tangan Di Atas (TDA) salah satunya. TDA memberikan ruang berkomunikasi bagi para entrepreneur muda dan calon entrepreneur untuk  berkomunikasi dan berbagi pengalaman serta berbagi kunci kesuksesan. Dalam bentuk mastermain (satu kelompok mikroteching) mereka disuppot. Satu mastermain memiliki mentor dan masing – masing mentor mempunyai kewajiban untuk memberikan mentor kepada mastermain dibawahnya seperti layaknya silsilah dalam multilevel marketing namun yang dibagikan adaln coaching tentang bisnis secara gratis.

Sisi hilir sudah sangat faham untuk saya melihat dan menekuninya. Namun sisi hulu para muzaki / muwakif dan calon muzaki dan calon muwakif  ini sangat perlu untuk direngkuh. Bahkan partner sejati para amil zakat dan nadzir wakaf adalah para aghnia dan calon aghnia ini. Sudah merupakan pasangan yang pas dalam mengurai mata rantai kemiskinan yang ada. Jika saat ini semuanya masih dalam koridor  sporadis maka  solusi jitunya  adalah leadership. Ternyata semua infrastruktur sudah tersedia. Semoga pemimpin yang memahami kerumitan kemiskinan di negeri ini segera hadir. Bangsa ini segera pintar, sehingga bisa memilih presiden yang cerdas untuk memimpin negeri ini sehingga kemiskinan di negeri ini teratasi.





Kamis, 03 November 2011

Dimana Peran Pemerintah ? (dalam dunia zakat dan wakaf di negeri ini)

Dua minggu lalu turut serta menghadiri acara lounching LAZ Dompet dhuafa di kantor kemetrian agama RI. Benar – benar dipisahkan dari yayasan dompet dhuafa kepengurusannya sehingga nanti menjadi mudah untuk diotorisasi oleh BAZNAZ. Sekarang BAZNAS mulai menertipkan sisi fundraising wakaf, ini merupakan langkah baru gebrakan BAZNAS semasa keberadaanya setelah sekian lama ada namun tak pernah hadir dalam sisi regulasi lembaga amil zakat.

Dompet dhuafa dipisahkan dengan HU Republika pada tahun 1993. Saat itu dimana pemerintah? Sebagai lembaga amil zakat pertama dengan management kelembagaan profesional di Jakarta, Dompet dhuafa mengawal babak baru berzakat melalui lembaga. Tak ada yang mau perduli, kepada ustadz Yusuf Qordhowi saja sang pendiri Pak Ery Sudewo mengadu. Apakah boleh lembaga menarik zakat? Itu adalah petikan pernyataan Ery Sudewo dengan ustadz Yusuf Qordhowi saat awal kiprah pak Ery membentuk Dompet Dhuafa.

Saat ini bisa kita lihat dan rasakan. Banyak lembaga zakat bermunculan hingga beberapa menjadi lembaga amil zakat berskala nasional yang besar seperti Rumah zakat, PKPU, dan lain sebagainya. Pemerintah mulai hadir dengan BAZNAS dengan fungsi regulator maupun operator. Sungguh ironi, bangsa yang mayoritas muslim ternyata tidak cukup menjadi alasan untuk mendapatkan bagian dana APBN lebih bagi relulasi di BAZNAS, hingga akhirnya BAZNAS pun sebagai pemain / operator. Dimana peran pemerintah?

Gejala ini nyaris sama dengan munculnya Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI berfungsi sama dengan BAZNAS hanya saja ranah kepengurusannya saja yang berbeda, zakat oleh BAZNAS dan wakaf oleh BWI. Mungkin sudah telat bagi BAZNAS untuk mengukir lebih banyak peran dalam dunia zakat di negeri ini. Hingga mereka yang mau peduli dengan system Alloh SWT dengan zakat dan wakaf untuk mensejahterakan umat yang mau bergerak. Bagi dunia zakat babak ini telah diterima dengan lapang dada bagi para lembaga amil zakat yang ada. PKPU, RZI dan diikuti oleh dompet dhuafa telah ikhlas sebagian kewenangannya dikembalikan kepada pemerinta dalam hal ini BAZNAS. Kenapa ikhlas? Karena jiwa para amil dan pengetahuan akan kebenaran bahwa zakat adalah domain pemerintah. Namun sedihnya knapa baru saat ini pemerintah mulai sibuk? Dulu dimana pemerintah?

Untuk wakaf, sebenarnya belum terlambat jika pemerintah ingin berperan lebih dan tidak mengulangi kesalahannya dimasa lalu terhadap cerita sejarah zakat di negeri ini. Saat ini belum banyak lembaga nadzir wakaf muncul. Hanya kami Tabung Wakaf Indonesia, Lembaga wakaf Al azhar, Lembaga wakaf pro 99, dan beberapa lembaga wakaf yang lain yang mohon maaf tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Perkembangan wakaf saat inipun masih pada fase menanam belumlah fase menuai. Silahkan jika ingin berperan mulailah dari fase menanam janganlah seperti dalam cerita sejarah zakat di negeri ini. Pemerintah hadir dalam dunia zakat setelah masa menuai panen. Dimana lembaga amil zakat telah mampu mendulang dana zakat yang besar baru pemerintah sibuk mengurusi dan berperan. Dimana peran pemerintah saat fase menanam dulu? 

Wakaf masih mencari jalan sejarahnya. Sangat bagus jika pemerintah hadir secara utuh dalam fase ini. Namun saat ini sepertinya akan menjadi kisah sejarah yang sama bagi sejarah wakaf di negeri ini dengan sejarah zakat yang bergulirnya lebih dahulu ada. Jika benar- benar ingin berperan maka ambillah wakaf sebagai bagian peran pemerintah secara utuh tanpa musti menghadirkan peran partisipasi masyarakat sipil dalam lembaga nadzir wakaf yang mulai muncul. Bersediakah? Jika ingin dikatakan berperan, berperanlah muali sekarang. Bukan hanya nanti saat menuai panen, saat dana wakaf yang terkumpul sudah banyak, bukan pada masa itu, namun sekarang saat ini, dalam fase menanam. 

Jika mau mencontoh, coba lihatlah perkembangan pergerakan wakaf dan zakat di negara tetangga kita Malaysia. Disana nyata sekali peran pemerintah dalam mewarnai pergerakan zakat dan wakaf. Karena memang zakat dan wakaf idealnya diurusi oleh pemerintah dan hasilnya juga digunakan untuk mensupport pembangunan. Hal ini yang tidak dipunyai oleh pemerintah kita yang mayoritas muslim. Sungguh ironis. Pada kenyataanya pemerintah tak sepenuhnya hadir mendampingi proses pergerakan zakat dan wakaf yang bagi umat muslim merupakan ibadah harta yang menyangkut kemaslahatan orang banyak, namun tidak mendapatkan porsi yang tepat oleh pemerintah.



Upaya Optimalisasi Badan Wakaf Indonesia


Badan Wakaf Indonesia sebagai badan otonom dibawah presiden yang diberi amanah untuk mengatur regulasi dan memajukan wakaf di tanah air saat ini belum terasa keberadaanya  bagi kami selaku nadzir wakaf yang ada. Sebagai contoh gerakan wakaf tunai yang BWI canangkanpun tak membekas dalam ranah pergerakan wakaf. Nihil. 

Upaya optimalisasi BWI dapat dilakukan dengan membenanahi secara structural posisi BWI. Hal ini terkait dengan Departemen Agama yang disinyalir belum berkenan jika wakaf diurus oleh BWI. Keberadaan dana wakaf dari luar negeri terlebih dana dari timur tengah adalah alasan mengapa Departemen Agama belum ikhlas melepas wakaf dalam bagaian yang diurusi olehnya. Dana wakaf dari luar negeri biasanya dengan persyaratan bahwa yang menerima adalah badan Negara bukan lembaga nirlaba atau yayasan, melainkan melalui institusi kelembagaan negara. Alih – alih memperebutkan dana wakaf luar negeri inilah yang menjadi berat bagi Departemen Agama untuk melepas kepengurusan wakaf. Pemisahan penuh dan posisi kuat BWI perlu dipertegas untuk memperlancar roda pertumbuhan pengurusan wakaf dinegeri ini.

Dari sisi bagian kegiatan BWI juga sangat penting untuk dievaluasi. Posisi regulator wakaf tidak selayaknya disandingkan dengan posisi operator. Ini menyebabkan tumpang tindih fungsi BWI. Di satu sisi BWI adalah regulator, disisi lain BWI adalah operator juga, tentu akan menimbulkan double kepentingan untuk kedepannya. Jika alasan menjadi operator wakaf adalah kurangnya dana yang diberikan pemerintah melalui dana APBN maka yang perlu diluruskan adalah menagih komitmen pemerintah dalam hal ini presiden. Komitmen tersebut dibuktikan dengan penggelontoran dana yang mencukupi bagi tumbuh dan hidupnya BWI tanpa harus menjadi operator wakaf.

Fungsi lain BWI adalah pembinaan nadzir. Dalam hal ini sebaiknya BWI membuat rating pengklasifikasian kapasitas nadzir. Misalnya bintang satu adalah nadzir tradisional yang belum financial literate, belum dikelola secara professional.Nadzir bintang dua adalah nadzir yang sudah dikelola sesuai managemen lembaga nadzir namun belum sesuai standart lembaga kenadziran. Bintang tiga adalah lembaga nadzir yang telah professional sesuai management lembaga nadzir dan accountable (sudah diaudit oleh akuntan public).  

Dampaknya, seluruh nadzir wakaf lembaga baik yang masih tradisional maupun sudah professional akan merasakan kebijakan dan sentuhan pembinaan dari BWI. Tidak seperti saat ini. Misalnya kebijakan penggalangan dana wakaf melaui LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) dikeluarkan untuk mengatasi masalah kekurangprofesionalan nadzir-nadzir di daerah yang belum melek secara keuangan / financial literate.  Namun disatu sisi kebijakan tersebut tidak mengakomodir nadzir-nadzir yang telah dipercaya oleh masyarakat. Nadzir – nadzir wakaf yang telah menerapkan management pengelolaan wakaf dengan profesional atau menuju professional merasa fungsi kenazhirannya dikooptasi oleh bank  syariah – bank syariah  yang termasuk dalam LKS PWU.

Bagaimana dengan nadzir-nadzir wakaf lembaga yang masih tradisional ? tentu saja lini pembinaan yang musti dilakukan. Terus menerus sehingga misalnya diawal nadzir tersebut masih bintang satu, maka BWI harus berusaha menaikkan bintang rating bagi lenbaga nadzir tradisional tersebut. Bukan malah dikooptasi juga kepada bank syariah – bank syariah yang masuk dalam LKS PWU.

Memang saat ini BWI masih terus harus dibenahi dan dievaluasi kebijakan – kebijakannya. Namun melihat kondisi BWI saat ini. Saya  merasa keberadaanya selangkah lebih maju dibandingkan dengan keberadaan BAZNAS pada era awal pendiriannya. Semoga berbekal optimism tersebut, dapat memberikan energy positif bagi wajah perkembangan pergerakan wakaf di negeri ini. Amiiin ya robbal alaamiiin.



Amil harus berpihak kepada mustahik dan nadzir wakaf harus berpihak kepada maukuf alaih


Berawal dari cerita yang dituturkan oleh staff baru kami di kantor. Pengalamanya interview pada salah satu lembaga amil zakat nasional ternama untuk menjadi fundraiser. Dalam interview tersebut dipaparkan system MLM untuk penggalangan dana zakat. Yang ditawarkan adalah iming – iming target sebuah merk mobil baru dan hal-hal materialistic sebagai target pendapatan sang fundraiser. Bahkan hingga menyebutkan xxxxmilyader……

Sontak membuat saya beristighfar mendengarkan cerita tersebut. Sungguh ironis gerakan zakat yang idealnya penuh nilai dilandasi dengan niatan tulus ikhlas tanpa meninggalkan nilai – nilai profesionalisme tentu saja namun bukan nilai – nilai materialistik seperti cara marketing yang dilakukan oleh multilevel marketing.
Bisa dibayangkan jika amil zakat berkendaraan pribadi mer-c atau alphard pada masa ini dan ditengah kemiskinan yang akut di negeri ini. Apakah pantas? Profesi amil adalah pilihan. Sarat akan nilai dan itulah alasan teman – teman saya memilih profesi amil di LAZ Dompet dhuafa. Amil zakat tidak boleh dugem di club – club malam, amil zakat musti siap untuk bermobil pribadi cukup maksimal dengan kijang innova saja. Itu merupakan kontrak mati bagi profesi amil selama negeri ini masih miskin.

Alasan kenapa amil zakat musti berpihak kepada mustahik adalah bahwa amil adalah bagian yang mendapatkan bagian dari dua belas setengah persen dari dana zakat yang diperoleh. Bagian yang lain adalah mustahik (yang berhak menerima zakat). Bisa dibayangkan amil yang sangat dekat dengan mustahik, bahkan bagi fundraiser zakat mustahik sering kali menjadi bahan untuk dijadikan “alat dagangan” bagi sang fundraiser dalam mencapai target. Apa ini tidak sama saja dengan menjual kemiskinan mustahik yang ketika mencapai target akan diberikan bonus atau passive income dari downline fundraiser kaki – kaki dibawahnya. Dimana hati dan keberpihakan amil itu?

Itu salah satu potret kelam dunia  fundraiser zakat di negeri ini. Bagaimanakah dengan nadzir wakaf kedepan? Jawabanya seratus persen sama persis. Meskipun kelak  nadzir wakaf dapat menghasilkan surplus wakaf produktifnya sangat luar biasa, namun dalam kehidupan sehari – hari tetap wajib berperilaku bersahaja. Kenapa demikian? Jelas jawabnya adalah masalah keberpihakan. Nadzir wakaf sudah sewajarnya berpihak kepada yang berhak menerima surplus wakaf (maukuf alaih). Selama kemiskinan dinegeri ini masih ada maka tak sepatutnya nadzir dan amil bergaya hidup mewah (tidak bersahaja).




Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...