Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lemah Gumanti,
Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Ia adalah perdana menteri kelima Repulik
Indonesia (RI) yang mempunyai gelar Datuk Sinaro Panjang. Ia juga pendiri
sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan salah satu tokoh Islam terkemuka
Indonesia. Sebagaimana riset dan analisis Dwi Zain, pada masa kecilnya, Natsir
belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Solok dan di sekolah agama Islam
yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rosul. Selanjutnya pada 1923 – 1927,
Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Leger Onderwijs
(MULO). Ia kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) Bandung,
hingga tamat pada 1930.
Saat di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis
pergerakan nasional, antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan
Sutan Sjahrir. Pada 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hasan untuk memperdalam
ilmu keagamaannya. Dengan keunggulan ilmu spiritual, Natsir anyak menulis
mengenai agama, kebudayaan dan pendidikan. Natsir juga dikenal sebagai pribadi
yang aktif. Ia memiliki banyak pengalaman organisasi, seperti menjadi wakil
ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Presiden Liga Muslim se-Dunia
(World Muslim Conggress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, Anggota Dewan Eksekutif
Rabhithah Alam Islamy yang berpusat di Makah, dan mendirikan Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia.
Karier politik Natsir dimulai pda 5 April 1950, saat ia
mengajukan mosi integral dalam sidang pleno parlemen. Mosi ini berhasil memulihkan
keutuhan bangsa, sehingga Soekarno mengangkat Natsir menjadi perdana menteri
karena prestasinya. Soekarno percaya bahwa Natsir mempunyai konsep untuk
menyelamatkan RI melalui konstitusi. Sayangnya, posisi Natsir seagai perdana
menteri tidak berlangsung lama. Ia mendapat penolakan dan perlawanan dari
Partai Nasional Indonesia (PNI). Terhitung sebanyak dua kali, anggota PNI di
parlemen membaikot sidang sehingga sidang tidak memenuhi kuorum. Akhirnya,
Natsir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri.
Selama menjabat sebagai menteri penerangan sebanyak tiga
kali, dan menjabat sebagai perdana menteri, kehidupan keluarga Natsir tidak
banyak berubah. Rumahnya tetap sederhana dan pintunya teruka kepada siapapun
yang ingin bersilaturahim. Sikap Natsir ini sangat bertolak belakang dengan
orang-orang yang sekarang mengaku tokoh umat, yang setelah menjadi pejabat
negara atau pejabat partai bisa mendadak kaya raya. Padahal, mereka tidak
mempunyai usaha lain kecuali pejabat partai. Hal ini seperti sebuah hal yang
sangat biasa dan bukan rahasia. Jika bekerja di partai politik, apapun
ideologinya, tidak jauh – jauh dari jual beli suara sehingga rakyat banyak
menganggap bahwa para elite politik sesungguhnya tidak berbeda dengan para
pedagang. Mereka menjadikan suara rakyat sebagai barang dagangan dengan
memberikan janji-janji manis, dan secepatnya melupakan semua itu ketika sudah berkuasa.
Natsir jelas bukan tokoh umat yang seperti ini.
Salah satu peristiwa yang tidak mungkin dilupakan adalah
pertemuan antara Natsir dengan Prabowo Subiyanto yang saat itu telah menjadi
perwira. Sebagaimana diberitakan Rizky Ridyasmara, iklim politik Indonesia
sejak tahun 1988 telah mulai kondusif agi dakwah Islam. Suatu hari, Prabowo,
yang saat itu masih menantu presiden Soeharto, diiringi sejumlah perwira muslim
akan bersilaturrahim ke kediaman Natsir di Jalan H.O.S Cokroaminoto, Jakarta.
Natsir yang telah tua menunggu di dalam kamarnya. Sebelum masuk ke dalam rumah,
Prabowo menyempatkan diri untuk melepas arloji dan cincin emasnya, lalu
dititipkan ke ajudannya. Hal ini dilakukan karena ia tahu bahwa Natsir adalah
seseorang yang sangat memegang erat kesederhanaan sehingga Prabowopun sangat menghormatinya.
Natsir memang tidak mempunyai istana, tetapi orang – orang
istana sering mendatanginya. Malah, Natsir tidak mampu membeli rumah untuk
keluarganya. Hidupnya dilalui dengan pindah dari satu kontrakan ke kontrakan
lainnya. Pada 1956 ia telah berhenti menjadi perdana menteri, Natsir menjabat
sebagai pemimpin Partai Masyumi. Ia ditawari mobil oleh seseorang dari Medan,
yakni Chevrolet Impala. Sebuah mobil “wah” sudah di parkir di depan rumahnya.
Namun Natsir menolak. Padahal, saat itu ia hanya memiliki moil kusam merek
DeSoto. Sebelumnya, setelah masa jabatan sebagai perdana menteri habis, Natsir
meninggalkan kantor kementrian untuk pulang menuju rumah dengan mengayuh
sepeda. Mobil dinasnya langsung diserahkan saat itu juga kepada negara.
*Dikutip dari buku “Kebiasaan Sehari – hari Para Guru Bangsa”
karangan Agus Nur Cahyo.