Jumat, 23 Januari 2015

Muhammad Natsir

Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lemah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Ia adalah perdana menteri kelima Repulik Indonesia (RI) yang mempunyai gelar Datuk Sinaro Panjang. Ia juga pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan salah satu tokoh Islam terkemuka Indonesia. Sebagaimana riset dan analisis Dwi Zain, pada masa kecilnya, Natsir belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rosul. Selanjutnya pada 1923 – 1927, Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO). Ia kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) Bandung, hingga tamat pada 1930.

Saat di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional, antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Sutan Sjahrir. Pada 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hasan untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Dengan keunggulan ilmu spiritual, Natsir anyak menulis mengenai agama, kebudayaan dan pendidikan. Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang aktif. Ia memiliki banyak pengalaman organisasi, seperti menjadi wakil ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Conggress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, Anggota Dewan Eksekutif Rabhithah Alam Islamy yang berpusat di Makah, dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Karier politik Natsir dimulai pda 5 April 1950, saat ia mengajukan mosi integral dalam sidang pleno parlemen. Mosi ini berhasil memulihkan keutuhan bangsa, sehingga Soekarno mengangkat Natsir menjadi perdana menteri karena prestasinya. Soekarno percaya bahwa Natsir mempunyai konsep untuk menyelamatkan RI melalui konstitusi. Sayangnya, posisi Natsir seagai perdana menteri tidak berlangsung lama. Ia mendapat penolakan dan perlawanan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Terhitung sebanyak dua kali, anggota PNI di parlemen membaikot sidang sehingga sidang tidak memenuhi kuorum. Akhirnya, Natsir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri.

Selama menjabat sebagai menteri penerangan sebanyak tiga kali, dan menjabat sebagai perdana menteri, kehidupan keluarga Natsir tidak banyak berubah. Rumahnya tetap sederhana dan pintunya teruka kepada siapapun yang ingin bersilaturahim. Sikap Natsir ini sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang sekarang mengaku tokoh umat, yang setelah menjadi pejabat negara atau pejabat partai bisa mendadak kaya raya. Padahal, mereka tidak mempunyai usaha lain kecuali pejabat partai. Hal ini seperti sebuah hal yang sangat biasa dan bukan rahasia. Jika bekerja di partai politik, apapun ideologinya, tidak jauh – jauh dari jual beli suara sehingga rakyat banyak menganggap bahwa para elite politik sesungguhnya tidak berbeda dengan para pedagang. Mereka menjadikan suara rakyat sebagai barang dagangan dengan memberikan janji-janji manis, dan secepatnya melupakan semua itu ketika sudah berkuasa. Natsir jelas bukan tokoh umat yang seperti ini.

Salah satu peristiwa yang tidak mungkin dilupakan adalah pertemuan antara Natsir dengan Prabowo Subiyanto yang saat itu telah menjadi perwira. Sebagaimana diberitakan Rizky Ridyasmara, iklim politik Indonesia sejak tahun 1988 telah mulai kondusif agi dakwah Islam. Suatu hari, Prabowo, yang saat itu masih menantu presiden Soeharto, diiringi sejumlah perwira muslim akan bersilaturrahim ke kediaman Natsir di Jalan H.O.S Cokroaminoto, Jakarta. Natsir yang telah tua menunggu di dalam kamarnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Prabowo menyempatkan diri untuk melepas arloji dan cincin emasnya, lalu dititipkan ke ajudannya. Hal ini dilakukan karena ia tahu bahwa Natsir adalah seseorang yang sangat memegang erat kesederhanaan sehingga Prabowopun sangat menghormatinya.

Natsir memang tidak mempunyai istana, tetapi orang – orang istana sering mendatanginya. Malah, Natsir tidak mampu membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya dilalui dengan pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Pada 1956 ia telah berhenti menjadi perdana menteri, Natsir menjabat sebagai pemimpin Partai Masyumi. Ia ditawari mobil oleh seseorang dari Medan, yakni Chevrolet Impala. Sebuah mobil “wah” sudah di parkir di depan rumahnya. Namun Natsir menolak. Padahal, saat itu ia hanya memiliki moil kusam merek DeSoto. Sebelumnya, setelah masa jabatan sebagai perdana menteri habis, Natsir meninggalkan kantor kementrian untuk pulang menuju rumah dengan mengayuh sepeda. Mobil dinasnya langsung diserahkan saat itu juga kepada negara.

*Dikutip dari buku “Kebiasaan Sehari – hari Para Guru Bangsa” karangan Agus Nur Cahyo.


Senin, 19 Januari 2015

Hijab

Beberapa hari lalu saat liburan tahun baru, saya berkesempatan bersilaturahim ke keluarga mbak Dika teman ngajiku dulu di Semarang. Mbak Dika bertanya "mbak film Hijab itu sesat ya?"." waduh, belum nonton mbak....lagian juga belum tayang kayaknya lho...." jawabku saat itu. Benar film Hijab baru tayang tanggal 15 januari di bioskop-bioskop tanah air. Sebenarnya gak terlalu berminat nonton film ini. Saya pengen nonton Assalaamualaikum Beijing, tapi ternyata sudah telat tayang di Purwokerto. Alhasil nontonlah saya film besutan Hanung Bramantyo ini. 

Setelah nonton baru tahu seperti apa, dan baru bisa berkomentar tentu saja. Menurut saya lumayan agak lucu sih...film bergenre komedi ini. Menggambarkan fenomena berhijab dan fashion hijab on line yang menjamur bak kacang goreng di negeri ini. Saya sepakat dengan apa yang disebutkan oleh Muhammad Assad dalam salah satu selingan wawancara dalam film ini selain beliau ternyata juga ikutan mengiklan buku 99 hijab storiesnya  yakni : Berhijab adalah jalan. Maksudnya dengan berhijab muslimah bisa memulai belajar Islam. Adapun cerita hal ikhwal kenapa akhirnya berhidayah atau terbuka hatinya untuk berhijrah itu macam-macam cerita. Tapi saya sepakat bahwa sebaiknya berhijab itu disesuaikan dengan perilakunya. Kalau sudah kaffah hendaknya berhijab lebar juga itu bagus. 

Dengan begitu, kita tidak akan berhenti berproses dalam mengkaji Islam dan mendalaminya dan yang lebih penting adalah mengamalkannya. Amiin YRA, berdoa juga untuk diri sendiri. Menurut saya tidak sesat film ini. Namanya film itu netral, seperti seorang jurnalist. Adapun ketika kita menafsirkan film maka tergantung dengan tingkat pemahaman kita sendiri dalam memberikan frame terhadap film tersebut. Asyik malah menurutku. Dengan film ini kita bisa melihat ada beberapa gradasi Muslimah. Ada yang tidak berhijab ada yang bertsurban, ada yang berhijab stylis belum syar'i dan ada yang berhijab syar'i and stylist, bahkan ada juga yang berhijab syar'i yang tidak stylist maupun yang bercadar. Jadi bahan refleksi saja, yang mana sih kita wahai muslimah? 

Meskipun agak lebay ya...karena jarang kita temui jilbab besar / jilboob bisa berteman akrab dengan yang tidak berhijab bahkan mengenakan pakaian youkensi, tapi ini di-paradokskan dalam film ini. Kalo nonton film ini, jadi gak masuk akal ya kata pak ustadz "jika mau melihat iman seseorang maka lihatlah siapa temennya?" itu hadist apa bukan ya? jadi penasaran.  Tapi benar jika kata pak ustadz " berteman dengan penjual minyak wangi maka akan ketularan wanginya, berteman dengan pandai besi maka akan terkena jilatan apinya." Di film ini akhirnya yang tidak berhijab menjadi berhijab. 

View lainnya adalah strategy marketing bisnis hijab on line.  Caranya sudah dijelaskan sama mbak jilboob di film ini, yang diperankan oleh Saskia Mecha. Caranya mengoptimalkan jejaring sosial yakni facebook, instagram dan twitter serta blog. Serta personal branding sang Designer. Dilihat designer Mechanism (brand) fashion online mereka, menjadi pembicara tentang hijab di komunitas-komunitas, kalau boleh saya menambahkan bisa juga lho memberikan pelatihan menjahit bagi para dhuafa, silahkan hubungi PKPU heheh...jadi ikut ngiklan seperti JNE di film itu. 

Yang pasti kritik buat Hanung sang sutradara, gak usah narsis, pake tampil main gitar nemenin Andien nyanyi dan posternya nongol di barisan pendemo segala. Gak lucu! Yah...kasih score ya....7,5 deh untuk skala tertinggi sepuluh. Yang pasti saya jadi browsing lagu Andin, bagus tidak kalah dengan Reza penyanyi aslinya...dan nyebelin banget...why? aku nangis bombay denger lagu itu untuk pertama kalianya. Pokoknya nyebelin! "satu yang tak bisa lepas."

Rabu, 14 Januari 2015

Kifarat

Hari ini saya berkesempatan bertemu seorang donatur perempuan yang berkonsultasi tentang kifarat. Kifarat adalah denda yang dibayarkan untuk menebus kesalahan, kira-kira demikian. Pada case hari ini, donatur ini merasa pernah mengeluarkan kalimat - kalimat yang disinyalir mungkin menjadi penghambat akan kehamilannya. Berawal dari pasangan swami isteri yang berterapi kepada seorang theraphis untuk terapi kehamilan. Pasangan ini menikah sudah tiga tahun dan belum diberikan momongan. Saat terapi perempuan donatur kami, ditanya oleh teraphis, apakah pernah mengeluarkan kalimat untuk menunda hamil setelah menikah. Ternyata memang setelah menikah donatur saya ini, sempat berucap untuk entar-entar saja dulu untuk mempunyai momongan.

Sang terapis menyarankan untuk membayar kifarat, jika ada kifarat yang harus dibayar. Begitu hati-hatibnya ya kita selaku manusia yang penuh alfa hendaknya dalam menjaga lesan. Bisa jadi kejadian betul apa yang kita kesankan. "mulutmu harimaumu." Well...ternyata kifarat itu ada dua jenis menurut saya, setelah saya searching-searching di google...maklumlah bukan ustadz. Kifarat pada kasus donatur kami ini termasuk jenis kifarat yang pertama yakni kifarat karena nadzar, atau ucapan. Jika karena nadzar misalnya seseorang bernadzar khusus jika mencapai sesuatu akan melakukan sesuatu tentunya yang tidak bertentangan dengan syari'ah maka wajib hukumnya nadzarnya ditunaikan. Jika tak ditunaikan maka wajib membayar kifarat/denda. Yang berupa : yang pertama memerdekakan budak atau berpuasa selama tiga hari berturut-turut, atau memberi makan  sepulub orang miskin dengan takaran seorangnya adalah sebesar 544 gram gandum atau kurma atau beras. 

Kifarat selanjutnya atau yang kedua adalah kifarat yang lebih  setingkat lebih berat dari jenis kifarat yang telah saya tuliskan diatas. Yakni jika seorang muslim melakukan hubungan swami istri saat bulan puasa atau seorang swami yang menyetubuhi istrinya saat haid maka kifaratnya adalah : Membebaskan atau memerdekakan buda, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin (ukurannya 544 gram beras untuk seorang miskin). Ketentuan diatas bersumber dari hadist. Wollohu alam bii Showab

Jumat, 09 Januari 2015

Syafrudin Prawiranegara (Lanjutan)

Sang istri berjualan sukun goreng.

Syafrudin Prawiranegara, mantan kepercayaan presiden dan wakil presiden RI, Soekarno - Hatta, terkenal dengan kesederhanaannya dan kesahajaannya. Ia mengajarkan itu kepada ister dan anak-anaknya. Lily, istri Syafrudin, terbiasa mengalami perjalanan hidup yang berat bersama swaminya.

Sebagai diberitakan Republika, Lily berjualan suku goreng untuk menghidupi empat anaknya yang masih kecil. Mereka adalsh Icah, Pipi, Farid dan Khoid. Perjuangan itu dijalani Lily selama swaminya berada di Sumatera menjalankan tugas negara. Saat berjualan sukun, ada protes dari Icah.

"Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada om Karno  dan wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky (Sri Sultan Hamangku Buwono IX
"Ayahmubsering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,"jawab Lily. "Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang hebat.' "Iya sayang. Ibu mengerti, tapibdengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal - hal yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang - orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu." kata Lily memberikan penjelasan kepada anak sulungnya.

Farid, anak keempat Syafrudin membenarkan perjuangan ibunya, yang pernah berjualan sukun goreng untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membeli susu bagi adek Farid yang masih kecil. "Ya, saya pernah mendapat cerita dari ibu. Ibu sayatidak malu berjualan   goreng dan tidakmengeluh ditinggalkan suaminya untuk melaksanakan tugas negara," kata Farid  yang telah menjadi pengusaha dan dikenal seebagai akuntan. Usai mengucapkan kata - kata itu Farid tertunduk. Kemudian tangannya mengambil kaca mata dan meletakkan di atas meja. Telunjuk tangan kanannya mengusap setetes air yang keluar dari kedua matanya."Maafkan saya. Saya tidak bisa menahan kesedihan kalau mengingat kembali kisah itu,"katanya.


Keteladanan Sang Menteri Miskin

Sikap Syafrudin Prawiranegara memang memiliki dedikasi tinggi dakam menjalankan tugas dan sangat nementingkan bangsa, negara, serta rakyat. Ia mengabaikan dirinya, keluarganya bahkan kehidupannya. "Pak Syaf (Syafrudin)  berani berkorban. Dan sebagai pemimpin, ia mendahulukan yang dipimpinnya. Mempunyai visi dan misi mau dibawa kemana yang dipimpinnya," kata Muhtar Mandala, tokoh masyarakat Banten yang juga dikenal salah satu bankir di Indonesia.

Sikap Syafrudin yang tidak mau mengambil uang negara yang bujan haknya, merupakan contoh bagi seluruh anak bangsa ini. "Saat ini Indonesia sedang mengalami krisiskepemimpinan. Sulit menemukan tokoh panutan, yang diikuti kehancuran moral" lanjutnya. Muhtar berharap kepemimpinan yang ditunjukkan Syafrudin dan para pejuang lainnya terus disampaikan kepada para pemimpin dan generasi muda, agar mereka dapat nengambil pelajaran. Sikap Lily yang lebih memilih berjualan sukun goreng untuk membeli susu anaknya dan mencukupi kehidupannya,daripada menyuruh suaminya untuk jorupsi, juga patut diketahui keluarga para pejabat saat ini.

Wartawan dari kantor berita Nasional Antara mengajak beberapa warga kampung Sukasari, kelurahan Pegadungan, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Pandeglang, untuk mengobrol mengenai Syafrudin. Wartawan yang sudah berada di kedai kopi ingin melihst reaksi mereka. Tanggapan yang hampir sama disampaikan warga tersebut. Mereka menyatakan salut debgan sikap Syafrudin dan kekuarganya. "Harus begitu kalau jadi pemimpin, jangan ajimumpung. Mentang - mentang menjadi pejabat, berusaha mencari peluang untuk menambah kekayaan," kata Tonny, salah satu warga. "Itu namanya pemimpin yang top, dan keluarganya juga top," timpal Badruzaman, sambil mengacungkan ibu jari. "Jadi pemimpin dan keluarga pemimpin itu harus siap susah. Janfan rakyatnya makan singkong, dia dan keluarga malah pesta newah," lanjutnya.

*Dikutip dari kebiasaan sehari - hari para guru bangsa karangan Agus Nur Cahyo.  

Syafrudin Prawiranegara

Syafrudin Prawiranegara lahir di Banten,28 Februari 1911. Ia adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat  sebagai ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat itu, pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Sewaktu masih kecil, Syafrudin akrab dipanggil kuding. Ia merupakan keturunan Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat perang Paderi. Kemudian,Sutan Alam Intan menikah dengan putri bangsawan Banten, sehingga lahirlah kakeknya dan memiliki anak yang bernama R.Arsyad Prawiraadmajda. Itulah ayah Syafrudin yang bekerja sebagai jaksa dan dikenal dekat dengan rakyat. R.Arsyad dibung Belanda ke Jawa Timur.

Sebagai diberitakan VOA Islam, Syafrudin yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Cruesoe, memiliki cita-cita tinggi. "ingin menjadi orangbesar" itulah alasannya masuk sekolah tinggi hukum (sekarang Fakultas HukumUniversitas Indonesia) Jakarta. Saat Belanda melakukan Agresi Militer II di Indonesia, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 di jam enam pagi, Belanda telah memulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr.Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk pemerintahan darurat. Telegram tersebut tidak sampai ke Bukit Tinggi karena sulitnya sistem komunikasi saat itu. Namun, bersamaan dengan mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pemimpin pemerintahan RI, pada 19 Desember sore hari, Syafrudin segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapatdi sebuah rumah dekatNgarai Sianok, Bukittinggi, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency goverment).

Gubernur Sumatra Mr. T.M Hasan menyetujui usul itu. 'Demi menyelamatkan Negara RI yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara,ucapnya. PDRI dijuluki sebagai "penyelamat republik". Dengan mengambil lokasi di daerah Sumatera Barat, pemerintahan RI masih tetap eksis, meskipun para pemimpin Indonesia telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Kabinet Syafrudin dalam PDRI terdiri atas beberapa menteri. Meskipun istilah yang digunakan saat itu adalah "ketua", tetapi kedudukannya sama dengan presiden. Syafrudin menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno pada 13Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi RI sebagai bangsa yang sedang mempertahankan kemerdekaan. Setelah itu, Syafrudin terlibat dalm pemerintahan dengan menjabat sebagai Menteri keuangan.

Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam kabinet Hatta, Syafruddin melaksanakan pengguntingan uang dari nilai 5 rupiah ke atas sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan "gunting syafrudin". Akibat ketidakpuasa terhadap pemerintah pusat yang disebabkan ketimpangan-ketimpangan sosial dan pengaruh komunis (terutama Partai Komunis Indonesia-PKI) yang semakin menguat, pada awal 1958 Syafrudin dan beberapa tokoh lainnya mendirikan pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di Sumatera Tengah. Syafrudin ditunjuk sebagai ketuanya. Kemudian setelah bertahun-tahun berkarier di dunia politik, Syafrudin akhirnya memilih jalur dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun, berulang kali mantantokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada juni 1985, ia diperiksa sehubungan isi khotbahnya pada hari Raya Idul Fitri 1404H di Masjid Al'Araf Tanjung Priok Jakarta. Di tengah kesibukan sebagai mubaligh, mantan gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku sejarah Moneter dengan bantuan Oe Beng To, direktur utama lembaga keuangan Indonesia.

Syafrudin sebelumnya pernah berkarie sebagai Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940), Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), Pegawai Departemen Keuangan Jepang, Anggota Badan Pekerja KNIP (1945), Wakil kemakmuran (1947), Perdana Menteri RI (1948), Presiden Pemerintah Darurat RI (1948), Wakil Perdana Menteri RI(1949), Menteri Keuangan (1949-1950), Gubernur Bank Sentral / Bank Indonesia (1951), Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan dan Pembangunan Manajemen (PPM)(1958),Pemimpin Masyumi (1960), Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978), serta sebagai ketua Korp Mubaligh Indonesia (1984-1989) sampai  hayatnya Safruddin meninggal pada 15 Febrari 1989 dan dimakamlan di Tanah  Kusir Jakarta Selatan.

Hidup Sederhana.

"Ayahmu Menteri Keuangan Icah,"Lily menyeka matanya yang basah. "usi uang negara Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli gurita bagi adikmu, khalid, yang baru lahir. Kalau ibu tidak alami sendiri kejadrian goda meitu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong gurita.  Kalimat tersebut merupakan ucapan yang disampaikan Tengku Halimah atau biasa dipanggil Lily, istri Syafruddin Prawiranegara yang dikutip dari lembar pertama buku Preside Prawiranegara, yang ditulis Akmal Nasery Basral. Pada bagian lain,Akmal juga menuliskan bahwa jumlah harta Syafruddin lebih sedikit setelah menjadi Menteri Keuangan dan tinggal di Yogyakarta dibandingkan saat menjabat Inspektur pajak di Kediri. Saat itu, menjadi menteri kabinet memang masih berkonotasi berjuang langsung ke dalam perjuangan nyata. Bukan simbol memasuki lingkaran elite dunia kapitalisme yang didominasi kuasa uang, kendaraan supermewah, serta beragam fasilitas kelas utama lainnya. Jadi, hidup dalam keadaan kekurangan di dalam keluarga Syafruddin sudah menjadi biasa. Bahkan untuk membeli gurita untuk anaknyapun tak bisa.

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...