Sudah sebulan yang lalu bulan April menyapa. Pada
bulan tersebut teringat saya pada salah satu sosok mulia inspirasi dalam
hidupku. Siapakah beliau? Ya....beliau adalah Ummi (Ibuku). Ummi dilahirkan
pada tanggal 27 April 1950. Dulunya sewaktu saya masih kecil, saya
memanggil ibu saya dengan sebutan "Simbok". Wajar saja lantaran
biasanya orang tua kita mencontohkan sebutan apa yang akan anak - anak mereka
panggil bagi orang tua mereka. Dulunya, kami semua putri Ummi memanggil beliau
dengan sebutan /panggilan Simbok karena Bapak mencontohkan itu kepada kami
sejak kecil. Hal itu sama dengan halnya ketika Bapak memanggil Nenek dengan
sebutan Simbok. Ketika saya memasuki usia remaja, dan kedua kakaku sudah
memasuki masa kuliah, kami sepakat mengganti panggilan Simbok dengan sebutan
Ummi. Pada saat itu, saya awal - awal SMA dimana saya mulai mengenal tarbiyah.
Sebutan bagi orang tua bagi para jamaah tarbiyah biasanya adalah Abi dan Ummi.
Sedangkan untuk alasan kenapa kedua kakak saya juga mengganti sebutan Simbok menjadi
Ummi saya kurang paham.
Well.....menurut saya ada segi kepantasan bagi seseorang Ibu bisa
dipanggil Ummi. Bukan cuma soal nama yang kearab - araban menurut para kritikus
yang tidak suka dengan istilah yang kearab – araban. Dalam lingkaran jamaah /
harokah yang berasal dari negara Timur Tengah tentu saja sangat familiar dengan
sebutan Ummi untuk memanggil ibu mereka. Misalnya jamaah Tarbiyah yang saat ini
terafiliasi dengan PKS yang sering disebut mirip dengan Ikhwanul Muslimin di
Mesir, jamaah / harokah Wahabi atau Salafi yang merupakah gerakan dakwah yang
berasal dari Makah / Madinah.
Bagi saya, kita tidaklah perlu anti dengan istilah -istilah bahasa Arab
dalam keseharian kita. Itu hanya masalah habbit/ kebiasaan saja. Kita
juga tidak masalah mendengarkan seseorang yang biasa berbicara dengan dicampur
dengan istilah /kata berbahasa Inggris. Nah itu hal yang sama. Kalau orang yang
biasa menggunakan bahasa Inggris dia akan biasa menyebutkan kata well...
and dan lain sebagainya. Bagi yang familiar dengan bahasa Arab
tidak cuma pada saat membaca Al qur’an saja, tapi dalam pergaulan sehari- hari
mereka, bahasa pengantar mereka saat kuliah di Timur Tengah, buku - buku yang
mereka baca tentu berbahasa Arab. That's way mereka familiar
dengan bahasa Arab hingga terbawa dalam dialek percakapan dalam pergaulan
sehari - hari. Itu hal yang sangat wajar, bukan karena mereka sok - sok jadi
kearab - araban. Itu hal yang sangat bisa kita pahami dan maklumi kenapa
seseorang menjadi sering menggunakan istilah - istilah bahasa Arab yang sudah familiar
seperti kata Afwan (maaf) sebutan akhi-ukhti (bagi teman sebaya)
kadang para ustadz /ustadzah juga menyebutkan begitu bagi para jamaahnya
saat memberikan ceramah.
Dalam kasus penamaan Ummi kami sebagai pribadi, tentu saja saya bukan
lulusan Universitas dari daerah Timur - Tengah, saya juga tidak pandai
berbahasa Arab. Kedua kakakku juga demikian. Panggilan Ummi kami berikan
lantaran menurut saya, Ummi itu merupakan sebutan yang pas / tepat bagi ibuku.
Ya lengkapnya Ummi Koyimah, kenapa? Setahu saya, Ummi adalah sosok
perempuan kampung sederhana yang selalu meluangkan waktunya untuk berhidmah
dalam hal ini berda’wah (menyeru kepada kebaikan) di lingkungan sekitar dimana
Ummi tinggal. Berda’wah itu tidak harus menjadi penceramah / ibu nyai
tetapi bisa juga dengan cara menjadi aktifis dalam suatu organiasi
kemasyarakatan.
Pengalaman Ummi dalam berorganisasi dimulai saat Ummi masih muda. Saat Ummi
masih muda, Ummi bergabung dengan Fatayat NU. Seragam kebaya berwarna hijau
milik Ummi saat masih aktif di Fatayat NU juga dibawa Ummi kerumah Bapak
dan disimpan dilemari pakaian di kamar Ummi. Kemudian Ummi menikah dengan Bapak
(Abu Sujak) pada usia 22 tahun. Pada saat itu, Ummi berprofesi sebagai guru SD
di daerah Sraten Mertoyudan. Tentu saja itu bukanlah jarak yang dekat dengan
rumah simbah (Martho Sofyan) di kampung kelahiran Ummi di Dusun Gamol. Ummi
berijazah terakhir ST (Sekolah Teknik) di Kotamadya Magelang. Menurut cerita
Ummi, dahulunya Ummi berangkat sekolah dengan berjalan kaki dari rumah sampai
stasiun Blabak, perlu kita ketahui bahwa dulu ada rel kereta api jalur Jogja -
Magelang. Konon kabarnya jalur ini juga akan dihidupkan kembali. Semoga saja
bukan hanya sekedar issue saja ya tatapi dapat terealisasi.
Ummi biasanya diberi bekal sebutir telur bebek sebagai ganti uang saku
sekolah. Sedangkan untuk ongkos naik kereta dibayar bulanan di stasiun
Blabak. Telur bebek yang dibawa Ummi biasanya dijual di warung mbok Saib di
perempatan Dusun Kalangan. Sampai saat ini Warung mbok Saib masih ada, entah
dikelola oleh generasi keberapa dari mbok Saib. Warung mbok Saib masih menjual bubur
sayur dan aneka gorengan seperti waktu dulu, namun beberapa waktu lalu saya
berkesempatan melewati jalan di depan warung mbok Saib, nampak juga berjualan
buah - buahan seperti jeruk, melon, semangka, pepaya dan lain sebagainya.
Saat Ummi dikenalkan dengan Bapak (bertaaruf) juga merupakan salah satu
momentum yang Ummi ceritakan kepadaku. Ummi dijodohkan dengan Bapak (Abu Sujak)
oleh Almarhum Pakdhe Mat Sirat yang saat ini rumahnya bersebelahan dengan
rumahku di kampung. Makanya hingga saat ini meskipun keluarga pak dhe Mat
Sirat merupakan keluarga yang jauh tapi kami merasa dekat seperti saudara
dekat. Bahkan dengan para putra putri Pak dhe Mat Sirat kami rasanya seperti
dengan saudara sepupu, saking dekatnya. Ya barangkali karena ada unsur historis
bahwa yang menjodohkan Bapak dan Ummi adalah Pak Dhe Mat Sirat. Jadi Bapak dan
ummi merasa harus membalas budi baik Pak Dhe Mat Sirat karena sudah menjodohkan
mereka berdua.
Ummi kalau menurut teori kepribadian dalam ilmu psikologi termasuk orang
dengan karakter sanguinis. Suka menghibur orang lain dan juga pernah bertingkah
konyol seperti badut. Pada saat itu saya masih bekerja di Jakarta, saat saya
pulang kampung kebetulan ada pertemuan PKK di rumah. Beberapa ibu - ibu muda
bercerita bahwa ummi melakukan aksi mengikuti lomba fashion show yang diadakan oleh para
mahasiswa yang sedang KKN di desa kami. Kata mereka, Ummi sudah menawarkan kepada
para anak muda puteri yang mau mewakili kampung kami untuk mengikuti lomba fashion
show di Kelurahan. Alhasil tidak ada ada yang bersedia. Eh….kok ternyata malah
Ummi sendiri yang maju. Pada saat fashion show tersebut tentu saja Ummi
adalah peserta paling sepuh (tertua),bahkan ada Pak Khozin beliau adalah kepala
dusun dari kampung Japun,yang ikut datang ke tengah panggung dan menggandeng tangan
Ummi bak puteri yang digandeng oleh sang pangeran. Tentu saja menjadi bahan
lawakan dan mengundang gelak tawa para hadirin yang datang pada saat itu. Ummi
memang konyol!
Selain kekoyolan Ummi yang tentu saja sangat mengesankan bagiku pribadi
adalah Ummi sebagai Ibu yang juga menjadi sahabatku. Cerita apa saja selaluku
dengan Ummi dan menurutku Ummi adalah sahabat yang asyik dan tidak membosankan.
Kalau sama Bapak,aku dan kedua kakakku terbiasa menggunakan bahasa kromo dalam
percakapan sehari – hari. Tapi kalau dengan Ummi aku ngobrol biasa saja seperti
layaknya seorang sahabat. Jiwa pengabdian Ummi dalam berda’wah merupakan
inspirasiku. Ummi remaja adalah aktifis dalam organisasi Fatayat NU yang berada
di tingkat Desa. Bukan aktifis yang bergerak sampai tingkat Kabupaten,
Propinsi, atau bahkan hingga sampai pengurus pusat Fatayat NU pusat. Oh…bukan!
biasa saja….ordinary person… tapi satu hal yang pasti, Ummi tidak pernah
lelah dalam berda’wah. Berda’wah itu menyeru kepada kebaikan. Menyeru kepada
kebaikan dalam bentuk berjamaah
(organisasi) tentu saja akan memberikan dampak lebih luas bagi ummat
daripada jika dibandingkan dengan berda’wah dengan dilakukan secara individu /
sendiri saja.
Setelah Ummi menikah dengan Bapak, Ummi pindah bertempat tinggal di kampung
Bapak yakni Tirto yang mayoritas adalah warga Muhammadiyah. Ummi berazzam untuk
terus bisa berkontribusi untuk ummat dengan bergabung menjadi pengurus Aisyiyah
Muhammadiyah ranting Desa Paremono. Seingat saya, Ummi didapuk menjadi
sekretaris. Ini bagus menurut saya. Intinya tetap berkontribusi dalam da’wah
apapun kendaraan /organisasi yang ada pada lingkungan tertentu. Bisa
dibayangkan jika Ummi tidak mempunyai keterbukaan dalam berpikir bukan tidak
mungkin, Ummi akan menjadi sosok yang fanatik terhadap harokah (organisasi
tempat beliau mengabdi dahulu yaitu Fatayat NU) tapi Ummi sangat legowo untuk berpindah kendaraan / harokah yang ia ikuti.
Miris memang kalau kita melihat saat ini ada saudara – saudara kita sesama
muslim yang acap kali menjelek -jelekkan saudara- saudaranya sesama muslim
hanya karena berbeda harokah (organisasi keagamaan) yang diikuti.
Tapi barangkali Ummi bisa dengan sangat enaknya berpindah harokah
(organisasi) lantaran Ummi just ordinary person hanya orang biasa saja. Dalam
artian Ummi bukanlah seorang putri dari sosok icon kyai besar / ketua
organisasi masyarakat. Jika mau mencontoh sikap keterbukaan seorang putra icon
kyai besar NU terkait dengan penyikapan terhadap perbedaan organisasi
masyarakat adalah Ipang Wahid. Seperti kita ketahui, Ipang Wahid adalah putra
dari kyai besar NU yaitu Kyai Sholahudin Wahid (Gus Shola) yang merupakan adik
kandung Almarhum Gus Dur. Ipang Wahid pernah meminta izin kepada salah satu
elit Organisasi / pimpinan organisasi Muhammadiyah untuk magang beberapa bulan
di kantor Muhammadiyah. Nanti ilmu dan pengalaman saat magang di Muhammadiyah
akan diterapkan sebagai bahan masukan bagi perkembangan Organisasi NU. Menurut
saya itu menarik dan inspiratif, karena orang sekelas Ipang Wahid yang tentu
saja semua orang tahu bahwa DNA nya adalah NU dengan semangat
keterbukaan berpikir tentang harokah (organisasi) adalah sebatas itusaja. Itu
saja sudah mampu membahasakan bahwa Ipang Wahid tidak asobiyah (merasa
bahwa harokah / organisasinya yang paling benar dan baik). Hal semacam ini
bagus sebagai bahan perenungan bagi kita bersama apalagi jika kita adalah
aktifis da’wah.
Selain berkhidmah dalam organisasi da’wah, Ummi juga aktifis PKK Desa. Dalam
keikut sertaannya di kegiatan – kegiatan PKK Desa,Ummi tidak pernah mamandang
siapa Kepala Desa yang saat itu menjabat. Kadang ada, bahkan kebanyakan Ibu –
Ibu PKK Desa itu mau aktif di kegiatan PKK Desa karena Kepala Desanya adalah
jagonya dalam pemilihan kepala Desa. Tapi Ummi tidak demikian, dari jaman dulu
Bapak aktif sebagai Kepala Dusun / Bayan / Prabot, Ummi langsung aktif menjadi
kader PKK sampai akhir hayat beliau. Ummi berganti – ganti bagian / devisi
/pokja di PKK tapi seingatku Ummi sering membidangi pokja I yang berkaitan
dengan nasionalisme. Kalau saya ibaratkan organisasi organisasi disekolah SMA,
maka pergerakan da’wah di NU atau Muhammadiyah itu seperti anak- anak Rohis /
Rohani Islam dan menjadi kader PKK itu seperti anak- anak OSIS. Keduanya
mempunyai nilai /value yang sama yakni bermanfaat untuk sesama, karena
motto hidup Ummi adalah “Khoirunnaas Anfauhumlinnas…bahwa orang yang
paling mulia adalah orang yang paling banyak manfaatnya untuk sesama /orang
lain.”ungkapan tersebut seperti yang termaktub dalam sebuah hadits.
Ummi mempunyai bakat public speaking. Selain mengisi pengajian ibu –
ibu di lingkungan RT, Ummi juga kerap mewakili Ibu Lurah berpidato baik
dilingkungan kecamatan hingga Kabupaten. Selain mewakili berpidato, memberikan
sambutan, Ummi juga kadang membuatkan naskah pidato / sambutan untuk Bu Lurah. That’s
Way…mungkin saat ini saya mewarisi bakat itu dari Ummi….Terima kasih ya
mii….
Obrolan terakhir dengan Ummi adalah saat saya dan kakak saya pulang kampung
saat libur lebaran tahun 2007. Ummi menuturkan bahwa sebenarnya kelak kita itu
bisa memilih mau dari pintu yang mana kalau kita mau masuk syurga. Pintu syurga
itu ada delapan. Ada orang yang bisa masuk syurga melalui pintu sedekah, ada
yang bisa masuk syurga melalui pintu sholat malamnya, ada orang yang bisa masuk
syurga melalui pintu birrul walidainnya dan lain sebagainya. Nah, maka
tinggal itu persiapkan saja yang mana. Kalau misalnya kita mau masuk syurga
melalui pintu tahajud maka rajinlah bertahajud dan harus punya intensitas lebih
daripada orang pada umumnya. Ketika saya dan kakakku pulang kembali ke rumah di
hari H – dua dari lebaran haji /Iedul Adha, ternyata sudah tidak bisa lagi kami
dengarkan nasehat – nasehat Ummi. Nasehat tentang pintu syurga tadi merupakan
nasehat terakhir Ummi untukku dan kakakku.
Ummi wafat pada usia 57 tahun, beliau lahir pada tanggal 27 April 1950 dan
wafat pada tanggal 13 Desember 2007. Ummi mempunyai hobbi membaca. Buku apa
saja Ummi baca, koran bekas juga Ummi baca. Majalah – majalah yang putri
-putrinya minati juga Ummi ikutan baca. Seingatku tulisan dalam bentuk apa saja
baik buku, majalah, koran semua Ummi baca.
Maka pelajarannya adalah jika ingin mempunyai anak yang suka membaca
maka cukuplah dengan memberi contoh saja. Karena kami putri- putri Ummi selalu
melihat Ummi membaca maka semua putrinya suka membaca.
Semoga saya bisa meneladani Ummi yang selalu punya kontribusi untuk
bermanfaat bagi ummat maupun sesama baik dalam lingkup yang luas seperti di
negeri ini jika memungkinkan atau dalam lingkup kecil dilingkungan tempat
tinggal saya Aamiin Ya robbal Alamiin. Kakakku juga sudah mengikuti
jejak Ummi. Setahuku di rumahnya di Purwokerto kakakku (Bunda) ikut aktif dalam
kegiatan PKK dan dasa wisma. Itu persis
sama dengan salah satu aktifitas yang dilakukan Ummi semasa hidup beliau.
Sempat Bunda ( kakakku) rasan – rasan dalam bahasa Jawa yang dalam Bahasa Indonesia
seperti mengenang Ummi. Kata bunda ( kakakku) “Ummi ki ra duwe kesel.”
Dalam Bahasa Indonesia “Ummi itu tidak punya rasa lelah.” Ya…karena hari- hari
Ummi sibuk dengan urusan ini urusan itu, kesana kemari urusan PKK, urusan
masyarakat kampung, urusan di organisasi Aisyah. “Masya Alloh ya Bund….” Kataku,karena
Bunda (kakaku) merasa dengan melakukan aktifitas di PKK dan dasa wisma saja Bunda(kakaku) sudah merasa cukup sibuk,
disamping Bunda (kakaku) mengemban peran utamanya sebagi istri dan Ibu rumah
tangga.
Beberapa tahun lalau, saat saya nengok sawah peninggalan Bapak. Saya bertemu
dengan almarhum Bapak Muhdin, yang kebetulan letak sawahnya tepat dibawah sawah
Bapak. Kami mengobrol ringan, Dalam obrolan kami, Pak Muhdin bercerita tentang
fenomena aktifis masyarakat pada saat itu. Kata beliau jarang ditemui orang
-orang seperti ibuku yang mau bersabar dan ikhlas ngopeni ( mendidik)
masyarakat. Pada saat itu, semua aktifis mayarakat larinya ke partai. Ada yang
langsung masuk ke partai menjadi salah satu anggota partai ada juga yang
awalnya masuk organnisasi masyarakat seperti Muhammadiyah eh ya ujung -ujungnya
lebih tertarik untuk pindah ke PAN, jadi ngopeni masyaratnya ditinggalkan.
Waktu itu saya masih di Dompet Dhuafa dan saya mengungkapkan bahwa saya saat
ini juga tidak mengambil jalan dakwah seperti Ummi melainkan saya memilih
bekerja di Dompet Dhuafa itu sebagai jalan Dakwah saya. Pada saat itu pilihan
saya adalah berkhidmah untuk kaum marginal dan kemausiaan melalui tempat saya
bekerja. Dulu saya juga sempat pulang kampung setelah selesai mengikuti
training saat awal – awal periode mengenal Dompet Dhuafa. Pikiran saya saat
itu, saya adalah anak bungsu,dan Ummi sendirian di rumah dan saya pulang
kampung untuk bertanya sama Ummi sebaiknya saya di Rumah atau bagaimana? Jika pada
saat itu Ummi menginginkan saya untuk tetap di rumah untuk menemani Ummi saya juga siap. Dalam
pandangan Ummi ,berdakwah itu juga disesuaikan dengan modal pendidikan yang
kita punyai. Kenapa Ummi memilih berdakwah di rumah /kampung dengan alasan modal
ilmu Ummi hanya cukup untuk berdakwah di kampung tapi kamu lain begitu kata
Ummi. Kamu sarjana,saat kamu kuliah juga kamu aktifis maka menurut pendapat
Ummi kalau aku berda’wah di Jakarta itu sudah tepat. Dengan alasan bisa
memberikan kemanfaatan yang lebih luas bagi Indonesia. Maka saat itu aku
memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan berda’wah Wakaf di Dompet Dhuafa.
Pak Muhdin mengangguk….pertanda bahwa beliau paham akan argumentasiku bahwa
ada juga sebenarnya model da’wah yang lain selain ngopeni masyarakat melalui
organisasi keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah. Seingatku, dulu Ummi menjadi
sekretris Aisyiyah Ranting Paremono dimana ketuanya adalah Ibu Umi Kulsum dimana beliau adalah istri dari Almarhum
Bapak Muhdin.
Sebagai seorang Ibu,Ummi adalah sosok Ibu yang penyabar. Ummi tidak pernah
membentak- bentak puri-putrinya. Kalau Ummi sedang jengkel juga yang keluar
dari mulut Ummi juga kalimat yang positif. Karena Ummi sadar bahwa perkataan
adalah doa. Misalnya, kami putri – putrinya sedang malas mengerjakan pekerjaan
rumah tangga (menyapu,cuci piring, dll) Ummi tidak marah Cuma mengomel begini
kira - kira “Tak dongakke anak- anakku dadi wong sing Mulyo sing isoh mbayar
babu.” Artinya begini “Aku doakan semoga anak-manakku menjadi orang kaya
berkecukupan secara materi sehingga
nanti kami mampu membayar asisten rumah tangga.” Begitulah Ummi…
Ada juga cerita dari Ummi kepadaku yang disampaikan dengan nada yang sangat
berat yakni saat Almarhumah kakak pertamaku sempat protes sama Ummi lantaran
kekasih hatinya tidak jadi meminangnya sebagai istri dengan alasan orang tua si
laki -laki kekasih kakakku itu tidak setuju jika putranya menikah dengan
kakakku karena kakakku bukan dari keluarga yang darah biru atau hanya orang
biasa saja. Duh…saya menyayangkan sikap kakakku. Kok juga kakakku protes sama
Ummi. Kenapa juga tidak protes saja skalian sama gusti Alloh! Lha wong Ummi
juga tidak minta sama Alloh untuk dilahirkan dari keluarga Martho Sofyan yang
merupakan keluarga biasa- biasa saja. Qodarulloh Ummi menikah dengan Bapak Abu
Sujak yang merupakan putra mbah Martho Sentono yang juga orang biasa – biasa
saja. That’s destiny sister! Bahwa takdir itu tidak bisa ditolak, yang bias
kita lakukan akan takdir Alloh itu kita bersikap khusnudzon sama ketetapan
Alloh karena itu kondisi terbaiknya kita. Tapi aku mencoba memahami suasana
kebatinan Almarhumah kakaku. Bahwa kakakku berpacaran dengan pria itu adalah
fakta, jadi mungkin sudah ada rasa cinta dan sudah berharap bahwa laki -laki
tersebut adalah jodohnya. Nah, disini menurutku salah satu sisi negatif /
kekurangan dari pacaran. Kalau memakai cara ta’aruf itu sangat mudah untuk
menyikapi kondisi semacam itu, cukup dengan kalimat “itu berarti bukan
jodohnya.” Cukup.
Namanya jodoh itu memang sekufu /
sepadan. Meskipun banyak penafsiran sekufu itu dalam hal apa? Misal saja
mengartikan sekufu dalam hal nasab yaitu juga boleh, makanya lihat saja gus ini
putranya kyai ini besanan dengan kyai itu dan ning itu putrinya kyai itu. Di
dunia elit politik kita sebut saja SBY yang besanan dengan pak Hatta Rajasa ,
bahkan Billgate juga sudah mengeluarkan statement kalau tidak mau
mempunyai menantu dari golongan oang miskin. Ada juga memang orang -orang yang humble
tidak mempermasalahkan jurang pemisah untuk hal- hal tersebut diatas. Misalnya nasab, kekayaan tapi orang pada umumnya memang cari yang
sekufu /sepadan dalam hal tersebut.
Aku tersenyum dan membesarkan hati Ummi.” Mi…kalau aku lain mii…kalau missal
ada laki -laki yang menolakku dengan alasan nasab yang tidak sekufu aku tidak
masalah mii…karena aku bisa cari yang lain yang bisa menerima aku apa adanya
dalam hal ini nasabku dimana aku adalah seorang anak kampung yang biasa- biasa
saja, dan aku tidak akan baper parah seperti kakakku karena aku tidak pacarana.
Aku memilih jalur taaruf. Jadi taaruf itu nothing too loose ….kalo
berhasil taarufnya yaitu namanya
berjodoh Alhamdulillah. Kalau taarufnya belum berhasil ya berarti itu belum
jodohku.” Ummi…menghela napas lega. Lantas aku kembali bertanya sama Ummi. Saat
itu Ummi bilang apa sama almarhumah kakak? Umi menjawab, “Aku doakan semoga
anak-anakku kelak punya derajat yang
tinggi.”Aamiin Ya Robbal Alamiin.
Itulah kisah tentang Ummi Koyimah ibuku….ibu biasa saja orang kampung yang
mampu menjadi inspirasi bagi ketiga putrinya. Semoga bermanfaat…..Wallohu’alam
biishowab….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar