Minggu, 18 Mei 2025

Ummi.

 

Sudah sebulan yang lalu bulan April menyapa. Pada bulan tersebut teringat saya pada salah satu sosok mulia inspirasi dalam hidupku. Siapakah beliau? Ya....beliau adalah Ummi (Ibuku). Ummi dilahirkan pada tanggal  27 April 1950. Dulunya sewaktu saya masih kecil, saya memanggil ibu saya dengan sebutan "Simbok". Wajar saja lantaran biasanya orang tua kita mencontohkan sebutan apa yang akan anak - anak mereka panggil bagi orang tua mereka. Dulunya, kami semua putri Ummi memanggil beliau dengan sebutan /panggilan Simbok karena Bapak mencontohkan itu kepada kami sejak kecil. Hal itu sama dengan halnya ketika Bapak memanggil Nenek dengan sebutan Simbok. Ketika saya memasuki usia remaja, dan kedua kakaku sudah memasuki masa kuliah, kami sepakat mengganti panggilan Simbok dengan sebutan Ummi. Pada saat itu, saya awal - awal SMA dimana saya mulai mengenal tarbiyah. Sebutan bagi orang tua bagi para jamaah tarbiyah biasanya adalah Abi dan Ummi. Sedangkan untuk alasan kenapa kedua kakak saya juga mengganti sebutan Simbok menjadi Ummi saya kurang paham.

Well.....menurut saya ada segi kepantasan bagi seseorang Ibu bisa dipanggil Ummi. Bukan cuma soal nama yang kearab - araban menurut para kritikus yang tidak suka dengan istilah yang kearab – araban. Dalam lingkaran jamaah / harokah yang berasal dari negara Timur Tengah tentu saja sangat familiar dengan sebutan Ummi untuk memanggil ibu mereka. Misalnya jamaah Tarbiyah yang saat ini terafiliasi dengan PKS yang sering disebut mirip dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, jamaah / harokah Wahabi atau Salafi yang merupakah gerakan dakwah yang berasal dari Makah / Madinah. 

Bagi saya, kita tidaklah perlu anti dengan istilah -istilah bahasa Arab dalam keseharian kita. Itu hanya masalah habbit/ kebiasaan saja. Kita juga tidak masalah mendengarkan seseorang yang biasa berbicara dengan dicampur dengan istilah /kata berbahasa Inggris. Nah itu hal yang sama. Kalau orang yang biasa menggunakan bahasa Inggris dia akan biasa menyebutkan kata well...  and dan lain sebagainya. Bagi yang familiar dengan bahasa Arab tidak cuma pada saat membaca Al qur’an saja, tapi dalam pergaulan sehari- hari mereka, bahasa pengantar mereka saat kuliah di Timur Tengah, buku - buku yang mereka baca tentu berbahasa Arab. That's way mereka familiar dengan bahasa Arab hingga terbawa dalam dialek percakapan dalam pergaulan sehari - hari. Itu hal yang sangat wajar, bukan karena mereka sok - sok jadi kearab - araban.  Itu hal yang sangat bisa kita pahami dan maklumi kenapa seseorang menjadi sering menggunakan istilah - istilah bahasa Arab yang sudah familiar seperti kata Afwan (maaf) sebutan akhi-ukhti (bagi teman sebaya) kadang para ustadz /ustadzah  juga menyebutkan begitu bagi para jamaahnya saat memberikan ceramah. 

Dalam kasus penamaan Ummi kami sebagai pribadi, tentu saja saya bukan lulusan Universitas dari daerah Timur - Tengah, saya juga tidak pandai berbahasa Arab. Kedua kakakku juga demikian. Panggilan Ummi kami berikan lantaran menurut saya, Ummi itu merupakan sebutan yang pas / tepat bagi ibuku. Ya lengkapnya Ummi Koyimah, kenapa? Setahu saya, Ummi adalah sosok perempuan kampung sederhana yang selalu meluangkan waktunya untuk berhidmah dalam hal ini berda’wah (menyeru kepada kebaikan) di lingkungan sekitar dimana Ummi tinggal. Berda’wah itu tidak harus menjadi penceramah  / ibu nyai tetapi bisa juga dengan cara menjadi aktifis dalam suatu organiasi kemasyarakatan.  

Pengalaman Ummi dalam berorganisasi dimulai saat Ummi masih muda. Saat Ummi masih muda, Ummi bergabung dengan Fatayat NU. Seragam kebaya berwarna hijau milik Ummi saat masih aktif di Fatayat NU  juga dibawa Ummi kerumah Bapak dan disimpan dilemari pakaian di kamar Ummi. Kemudian Ummi menikah dengan Bapak (Abu Sujak) pada usia 22 tahun. Pada saat itu, Ummi berprofesi sebagai guru SD di daerah Sraten Mertoyudan. Tentu saja itu bukanlah jarak yang dekat dengan rumah simbah (Martho Sofyan) di kampung kelahiran Ummi di Dusun Gamol. Ummi berijazah terakhir ST (Sekolah Teknik) di Kotamadya Magelang. Menurut cerita Ummi, dahulunya Ummi berangkat sekolah dengan berjalan kaki dari rumah sampai stasiun Blabak, perlu kita ketahui bahwa dulu ada rel kereta api jalur Jogja - Magelang. Konon kabarnya jalur ini juga akan dihidupkan kembali. Semoga saja bukan hanya sekedar issue saja ya tatapi dapat terealisasi. 

Ummi biasanya diberi bekal sebutir telur bebek sebagai ganti uang saku sekolah. Sedangkan untuk ongkos naik kereta dibayar bulanan  di stasiun Blabak. Telur bebek yang dibawa Ummi biasanya dijual di warung mbok Saib di perempatan Dusun Kalangan. Sampai saat ini Warung mbok Saib masih ada, entah dikelola oleh generasi keberapa dari mbok Saib. Warung mbok Saib masih menjual bubur sayur dan aneka gorengan seperti waktu dulu, namun beberapa waktu lalu saya berkesempatan melewati jalan di depan warung mbok Saib, nampak juga berjualan buah - buahan seperti jeruk, melon, semangka, pepaya dan lain sebagainya. 

Saat Ummi dikenalkan dengan Bapak (bertaaruf) juga merupakan salah satu momentum yang Ummi ceritakan kepadaku. Ummi dijodohkan dengan Bapak (Abu Sujak) oleh Almarhum Pakdhe Mat Sirat yang saat ini rumahnya bersebelahan dengan rumahku di kampung. Makanya hingga saat ini meskipun keluarga pak dhe Mat Sirat merupakan keluarga yang jauh tapi kami merasa dekat seperti saudara dekat. Bahkan dengan para putra putri Pak dhe Mat Sirat kami rasanya seperti dengan saudara sepupu, saking dekatnya. Ya barangkali karena ada unsur historis bahwa yang menjodohkan Bapak dan Ummi adalah Pak Dhe Mat Sirat. Jadi Bapak dan ummi merasa harus membalas budi baik Pak Dhe Mat Sirat karena sudah menjodohkan mereka berdua.

Ummi kalau menurut teori kepribadian dalam ilmu psikologi termasuk orang dengan karakter sanguinis. Suka menghibur orang lain dan juga pernah bertingkah konyol seperti badut. Pada saat itu saya masih bekerja di Jakarta, saat saya pulang kampung kebetulan ada pertemuan PKK di rumah. Beberapa ibu - ibu muda bercerita bahwa ummi melakukan aksi mengikuti lomba  fashion show yang diadakan oleh para mahasiswa yang sedang KKN di desa kami. Kata mereka, Ummi sudah menawarkan kepada para anak muda puteri yang mau mewakili kampung kami untuk mengikuti lomba fashion show di Kelurahan. Alhasil tidak ada ada yang bersedia. Eh….kok ternyata malah Ummi sendiri yang maju. Pada saat fashion show tersebut tentu saja Ummi adalah peserta paling sepuh (tertua),bahkan ada Pak Khozin beliau adalah kepala dusun dari kampung Japun,yang ikut datang ke tengah panggung dan menggandeng tangan Ummi bak puteri yang digandeng oleh sang pangeran. Tentu saja menjadi bahan lawakan dan mengundang gelak tawa para hadirin yang datang pada saat itu. Ummi memang konyol!

Selain kekoyolan Ummi yang tentu saja sangat mengesankan bagiku pribadi adalah Ummi sebagai Ibu yang juga menjadi sahabatku. Cerita apa saja selaluku dengan Ummi dan menurutku Ummi adalah sahabat yang asyik dan tidak membosankan. Kalau sama Bapak,aku dan kedua kakakku terbiasa menggunakan bahasa kromo dalam percakapan sehari – hari. Tapi kalau dengan Ummi aku ngobrol biasa saja seperti layaknya seorang sahabat. Jiwa pengabdian Ummi dalam berda’wah merupakan inspirasiku. Ummi remaja adalah aktifis dalam organisasi Fatayat NU yang berada di tingkat Desa. Bukan aktifis yang bergerak sampai tingkat Kabupaten, Propinsi, atau bahkan hingga sampai pengurus pusat Fatayat NU pusat. Oh…bukan! biasa saja….ordinary person… tapi satu hal yang pasti, Ummi tidak pernah lelah dalam berda’wah. Berda’wah itu menyeru kepada kebaikan. Menyeru kepada kebaikan dalam bentuk berjamaah  (organisasi) tentu saja akan memberikan dampak lebih luas bagi ummat daripada jika dibandingkan dengan berda’wah dengan dilakukan secara individu / sendiri saja.  

Setelah Ummi menikah dengan Bapak, Ummi pindah bertempat tinggal di kampung Bapak yakni Tirto yang mayoritas adalah warga Muhammadiyah. Ummi berazzam untuk terus bisa berkontribusi untuk ummat dengan bergabung menjadi pengurus Aisyiyah Muhammadiyah ranting Desa Paremono. Seingat saya, Ummi didapuk menjadi sekretaris. Ini bagus menurut saya. Intinya tetap berkontribusi dalam da’wah apapun kendaraan /organisasi yang ada pada lingkungan tertentu. Bisa dibayangkan jika Ummi tidak mempunyai keterbukaan dalam berpikir bukan tidak mungkin, Ummi akan menjadi sosok yang fanatik terhadap harokah (organisasi tempat beliau mengabdi dahulu yaitu Fatayat NU) tapi Ummi sangat legowo untuk  berpindah kendaraan / harokah yang ia ikuti. Miris memang kalau kita melihat saat ini ada saudara – saudara kita sesama muslim yang acap kali menjelek -jelekkan saudara- saudaranya sesama muslim hanya karena berbeda harokah (organisasi keagamaan) yang diikuti.

Tapi barangkali Ummi bisa dengan sangat enaknya berpindah harokah (organisasi) lantaran Ummi just ordinary person hanya orang biasa saja. Dalam artian Ummi bukanlah seorang putri dari sosok icon kyai besar / ketua organisasi masyarakat. Jika mau mencontoh sikap keterbukaan seorang putra icon kyai besar NU terkait dengan penyikapan terhadap perbedaan organisasi masyarakat adalah Ipang Wahid. Seperti kita ketahui, Ipang Wahid adalah putra dari kyai besar NU yaitu Kyai Sholahudin Wahid (Gus Shola) yang merupakan adik kandung Almarhum Gus Dur. Ipang Wahid pernah meminta izin kepada salah satu elit Organisasi / pimpinan organisasi Muhammadiyah untuk magang beberapa bulan di kantor Muhammadiyah. Nanti ilmu dan pengalaman saat magang di Muhammadiyah akan diterapkan sebagai bahan masukan bagi perkembangan Organisasi NU. Menurut saya itu menarik dan inspiratif, karena orang sekelas Ipang Wahid yang tentu saja semua orang tahu bahwa DNA nya adalah NU dengan semangat keterbukaan berpikir tentang harokah (organisasi) adalah sebatas itusaja. Itu saja sudah mampu membahasakan bahwa Ipang Wahid tidak asobiyah (merasa bahwa harokah / organisasinya yang paling benar dan baik). Hal semacam ini bagus sebagai bahan perenungan bagi kita bersama apalagi jika kita adalah aktifis da’wah.

Selain berkhidmah dalam organisasi da’wah, Ummi juga aktifis PKK Desa. Dalam keikut sertaannya di kegiatan – kegiatan PKK Desa,Ummi tidak pernah mamandang siapa Kepala Desa yang saat itu menjabat. Kadang ada, bahkan kebanyakan Ibu – Ibu PKK Desa itu mau aktif di kegiatan PKK Desa karena Kepala Desanya adalah jagonya dalam pemilihan kepala Desa. Tapi Ummi tidak demikian, dari jaman dulu Bapak aktif sebagai Kepala Dusun / Bayan / Prabot, Ummi langsung aktif menjadi kader PKK sampai akhir hayat beliau. Ummi berganti – ganti bagian / devisi /pokja di PKK tapi seingatku Ummi sering membidangi pokja I yang berkaitan dengan nasionalisme. Kalau saya ibaratkan organisasi organisasi disekolah SMA, maka pergerakan da’wah di NU atau Muhammadiyah itu seperti anak- anak Rohis / Rohani Islam dan menjadi kader PKK itu seperti anak- anak OSIS. Keduanya mempunyai nilai /value yang sama yakni bermanfaat untuk sesama, karena motto hidup Ummi adalah “Khoirunnaas Anfauhumlinnas…bahwa orang yang paling mulia adalah orang yang paling banyak manfaatnya untuk sesama /orang lain.”ungkapan tersebut seperti yang termaktub dalam sebuah hadits.

Ummi mempunyai bakat public speaking. Selain mengisi pengajian ibu – ibu di lingkungan RT, Ummi juga kerap mewakili Ibu Lurah berpidato baik dilingkungan kecamatan hingga Kabupaten. Selain mewakili berpidato, memberikan sambutan, Ummi juga kadang membuatkan naskah pidato / sambutan untuk Bu Lurah. That’s Way…mungkin saat ini saya mewarisi bakat itu dari Ummi….Terima kasih ya mii….

Obrolan terakhir dengan Ummi adalah saat saya dan kakak saya pulang kampung saat libur lebaran tahun 2007. Ummi menuturkan bahwa sebenarnya kelak kita itu bisa memilih mau dari pintu yang mana kalau kita mau masuk syurga. Pintu syurga itu ada delapan. Ada orang yang bisa masuk syurga melalui pintu sedekah, ada yang bisa masuk syurga melalui pintu sholat malamnya, ada orang yang bisa masuk syurga melalui pintu birrul walidainnya dan lain sebagainya. Nah, maka tinggal itu persiapkan saja yang mana. Kalau misalnya kita mau masuk syurga melalui pintu tahajud maka rajinlah bertahajud dan harus punya intensitas lebih daripada orang pada umumnya. Ketika saya dan kakakku pulang kembali ke rumah di hari H – dua dari lebaran haji /Iedul Adha, ternyata sudah tidak bisa lagi kami dengarkan nasehat – nasehat Ummi. Nasehat tentang pintu syurga tadi merupakan nasehat terakhir Ummi untukku dan kakakku.

Ummi wafat pada usia 57 tahun, beliau lahir pada tanggal 27 April 1950 dan wafat pada tanggal 13 Desember 2007. Ummi mempunyai hobbi membaca. Buku apa saja Ummi baca, koran bekas juga Ummi baca. Majalah – majalah yang putri -putrinya minati juga Ummi ikutan baca. Seingatku tulisan dalam bentuk apa saja baik buku, majalah, koran semua Ummi baca.  Maka pelajarannya adalah jika ingin mempunyai anak yang suka membaca maka cukuplah dengan memberi contoh saja. Karena kami putri- putri Ummi selalu melihat Ummi membaca maka semua putrinya suka membaca.

Semoga saya bisa meneladani Ummi yang selalu punya kontribusi untuk bermanfaat bagi ummat maupun sesama baik dalam lingkup yang luas seperti di negeri ini jika memungkinkan atau dalam lingkup kecil dilingkungan tempat tinggal saya Aamiin Ya robbal Alamiin. Kakakku juga sudah mengikuti jejak Ummi. Setahuku di rumahnya di Purwokerto kakakku (Bunda) ikut aktif dalam kegiatan  PKK dan dasa wisma. Itu persis sama dengan salah satu aktifitas yang dilakukan Ummi semasa hidup beliau. Sempat Bunda ( kakakku) rasan – rasan dalam bahasa Jawa yang dalam Bahasa Indonesia seperti mengenang Ummi. Kata bunda ( kakakku) “Ummi ki ra duwe kesel.” Dalam Bahasa Indonesia “Ummi itu tidak punya rasa lelah.” Ya…karena hari- hari Ummi sibuk dengan urusan ini urusan itu, kesana kemari urusan PKK, urusan masyarakat kampung, urusan di organisasi Aisyah. “Masya Alloh ya Bund….” Kataku,karena Bunda (kakaku) merasa dengan melakukan aktifitas di PKK dan dasa wisma  saja Bunda(kakaku) sudah merasa cukup sibuk, disamping Bunda (kakaku) mengemban peran utamanya sebagi istri dan Ibu rumah tangga.

Beberapa tahun lalau, saat saya nengok sawah peninggalan Bapak. Saya bertemu dengan almarhum Bapak Muhdin, yang kebetulan letak sawahnya tepat dibawah sawah Bapak. Kami mengobrol ringan, Dalam obrolan kami, Pak Muhdin bercerita tentang fenomena aktifis masyarakat pada saat itu. Kata beliau jarang ditemui orang -orang seperti ibuku yang mau bersabar dan ikhlas ngopeni ( mendidik) masyarakat. Pada saat itu, semua aktifis mayarakat larinya ke partai. Ada yang langsung masuk ke partai menjadi salah satu anggota partai ada juga yang awalnya masuk organnisasi masyarakat seperti Muhammadiyah eh ya ujung -ujungnya lebih tertarik untuk pindah ke PAN, jadi ngopeni masyaratnya ditinggalkan.

Waktu itu saya masih di Dompet Dhuafa dan saya mengungkapkan bahwa saya saat ini juga tidak mengambil jalan dakwah seperti Ummi melainkan saya memilih bekerja di Dompet Dhuafa itu sebagai jalan Dakwah saya. Pada saat itu pilihan saya adalah berkhidmah untuk kaum marginal dan kemausiaan melalui tempat saya bekerja. Dulu saya juga sempat pulang kampung setelah selesai mengikuti training saat awal – awal periode mengenal Dompet Dhuafa. Pikiran saya saat itu, saya adalah anak bungsu,dan Ummi sendirian di rumah dan saya pulang kampung untuk bertanya sama Ummi sebaiknya saya di Rumah atau bagaimana? Jika pada saat itu Ummi menginginkan saya untuk tetap di rumah  untuk menemani Ummi saya juga siap. Dalam pandangan Ummi ,berdakwah itu juga disesuaikan dengan modal pendidikan yang kita punyai. Kenapa Ummi memilih berdakwah di rumah /kampung dengan alasan modal ilmu Ummi hanya cukup untuk berdakwah di kampung tapi kamu lain begitu kata Ummi. Kamu sarjana,saat kamu kuliah juga kamu aktifis maka menurut pendapat Ummi kalau aku berda’wah di Jakarta itu sudah tepat. Dengan alasan bisa memberikan kemanfaatan yang lebih luas bagi Indonesia. Maka saat itu aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan berda’wah Wakaf di Dompet Dhuafa.

Pak Muhdin mengangguk….pertanda bahwa beliau paham akan argumentasiku bahwa ada juga sebenarnya model da’wah yang lain selain ngopeni masyarakat melalui organisasi keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah. Seingatku, dulu Ummi menjadi sekretris Aisyiyah Ranting Paremono dimana ketuanya adalah Ibu Umi Kulsum  dimana beliau adalah istri dari Almarhum Bapak Muhdin.

Sebagai seorang Ibu,Ummi adalah sosok Ibu yang penyabar. Ummi tidak pernah membentak- bentak puri-putrinya. Kalau Ummi sedang jengkel juga yang keluar dari mulut Ummi juga kalimat yang positif. Karena Ummi sadar bahwa perkataan adalah doa. Misalnya, kami putri – putrinya sedang malas mengerjakan pekerjaan rumah tangga (menyapu,cuci piring, dll) Ummi tidak marah Cuma mengomel begini kira - kira “Tak dongakke anak- anakku dadi wong sing Mulyo sing isoh mbayar babu.” Artinya begini “Aku doakan semoga anak-manakku menjadi orang kaya berkecukupan secara materi  sehingga nanti kami mampu membayar asisten rumah tangga.” Begitulah Ummi…

Ada juga cerita dari Ummi kepadaku yang disampaikan dengan nada yang sangat berat yakni saat Almarhumah kakak pertamaku sempat protes sama Ummi lantaran kekasih hatinya tidak jadi meminangnya sebagai istri dengan alasan orang tua si laki -laki kekasih kakakku itu tidak setuju jika putranya menikah dengan kakakku karena kakakku bukan dari keluarga yang darah biru atau hanya orang biasa saja. Duh…saya menyayangkan sikap kakakku. Kok juga kakakku protes sama Ummi. Kenapa juga tidak protes saja skalian sama gusti Alloh! Lha wong Ummi juga tidak minta sama Alloh untuk dilahirkan dari keluarga Martho Sofyan yang merupakan keluarga biasa- biasa saja. Qodarulloh Ummi menikah dengan Bapak Abu Sujak yang merupakan putra mbah Martho Sentono yang juga orang biasa – biasa saja. That’s destiny sister! Bahwa takdir itu tidak bisa ditolak, yang bias kita lakukan akan takdir Alloh itu kita bersikap khusnudzon sama ketetapan Alloh karena itu kondisi terbaiknya kita. Tapi aku mencoba memahami suasana kebatinan Almarhumah kakaku. Bahwa kakakku berpacaran dengan pria itu adalah fakta, jadi mungkin sudah ada rasa cinta dan sudah berharap bahwa laki -laki tersebut adalah jodohnya. Nah, disini menurutku salah satu sisi negatif / kekurangan dari pacaran. Kalau memakai cara ta’aruf itu sangat mudah untuk menyikapi kondisi semacam itu, cukup dengan kalimat “itu berarti bukan jodohnya.” Cukup.

Namanya  jodoh itu memang sekufu / sepadan. Meskipun banyak penafsiran sekufu itu dalam hal apa? Misal saja mengartikan sekufu dalam hal nasab yaitu juga boleh, makanya lihat saja gus ini putranya kyai ini besanan dengan kyai itu dan ning itu putrinya kyai itu. Di dunia elit politik kita sebut saja SBY yang besanan dengan pak Hatta Rajasa , bahkan Billgate juga sudah mengeluarkan statement kalau tidak mau mempunyai menantu dari golongan oang miskin. Ada juga memang orang -orang yang humble tidak mempermasalahkan jurang pemisah untuk hal- hal tersebut diatas.  Misalnya nasab, kekayaan  tapi orang pada umumnya memang cari yang sekufu /sepadan dalam hal tersebut.

Aku tersenyum dan membesarkan hati Ummi.” Mi…kalau aku lain mii…kalau missal ada laki -laki yang menolakku dengan alasan nasab yang tidak sekufu aku tidak masalah mii…karena aku bisa cari yang lain yang bisa menerima aku apa adanya dalam hal ini nasabku dimana aku adalah seorang anak kampung yang biasa- biasa saja, dan aku tidak akan baper parah seperti kakakku karena aku tidak pacarana. Aku memilih jalur taaruf. Jadi taaruf itu nothing too loose ….kalo berhasil taarufnya  yaitu namanya berjodoh Alhamdulillah. Kalau taarufnya belum berhasil ya berarti itu belum jodohku.” Ummi…menghela napas lega. Lantas aku kembali bertanya sama Ummi. Saat itu Ummi bilang apa sama almarhumah kakak? Umi menjawab, “Aku doakan semoga anak-anakku kelak punya derajat  yang tinggi.”Aamiin Ya Robbal Alamiin.

Itulah kisah tentang Ummi Koyimah ibuku….ibu biasa saja orang kampung yang mampu menjadi inspirasi bagi ketiga putrinya. Semoga bermanfaat…..Wallohu’alam biishowab….

 

Rabu, 26 Maret 2025

Sekilas Tentang Pondok Salaf NU

 

 Alhamdulillah  Wa Syukurillah saya sudah menjalani masa mondok di salah satu pondok NU Salaf di Kulonprogo. Namanya pondok pesantren Nurul Haromain. Pengalaman di pondok ini tentu tidak akan terlupakan. Swasana pondok yang sederhana, dengan bangunan pondok yang tentu saja berbeda dengan bangunan - bangunan pondok - pondok modern . Sangat sederhana. Biasanya pondok salaf NU itu dibangun oleh para santri. Makanya sebisanya  santri, beruntung jika santrinya punya keahlian bangunan tapi jika tidak ya seadanya saja. Tapi bangunan - bangunan itu menurutku malah terkesan magis, karena para santri selalu membangun bangunan pondok dengan disertai dengan dzikir dan wirid. Untuk bangunan tentu kurang estetik, lantaran biasanya Abah Yai menambah bangunan jika sudah ada dana baru membangun lagi.
Dengan kondisi pondok yang sangat sederhana, yakni atap seng atau asbes atau baja ringan dan lantai mester biasa tidak pakai keramik kami tidur beramai ramai. Satu kamar berisi lima belas santri, dengan alas kasur dengan ketentuan dari pengurus pondok. Setelah banagun kasur dilipat ditumpuk di pojokan dan ruangan lapang jika bukan waktu tidur. Makanannyapun sangat sederhana misalnya sayur dengan lauk tempe goreng, tahu isi, tempe gembus, telur sesekali dan ayam atau lele kira - kira sebulan sekali. Alhamdulillah berkah, yang saya rasakan makan makanan apa saja terasa enak kalau di pondok. Really....Biasanya pondok juga disokong oleh para donatur atau para muhibbin pondok. Kalau di pondok Nurul Haromain ini ada yang support beras, sayuran, buah-buahan atau lauk. Biasanya mereka para pedagang. Saat  dagangannya masih banyak dan tidak terjual para pedagang ini mengirimkan ke pondok untuk makan santri. Di pondok ada dapur umum, ada dapur dhalem. Dapur umum biasanya dipakai untuk mamasak bagi para santri yang ikut makan dari pengurus pondok dengan membayar iuran makan. Sedangkan dapur dhalem adalah dapurnya Abah Yai untuk menyediakan masakan untuk Abah Yai sekeluarga beserta para tamu yang berkunjung ke pondok. Untuk makan santri yang mandiri mereka biasanya membeli makanan di kantin pondok, dimana kantin dikelola oleh para santri khubbar  ( mbak atau kang) yang sudah besar - besar yang sudah lama mondok disitu dan berkhidmat mengurus kantin. Jika ada kiriman bahan makanan, baik sayur, buah ataupun lauk seperti ayam atau ikan biasanya dikelola oleh dapur ndalem kemudian dibagikan kesemua santri baik yang ikut makan bersama pengurus maupun yang makan mandiri yang membeli di kantin. Santri mandiri yang membeli makan di kantin harus sudah mondok minimal setahun dan ditahun pertama mondok harus  menjadi santri yang makan dengan ikut pengurus pondok.
Kadang aku suka terheran - heran di pondok Nurul Haromain itu uang Rp.50,- perak masih laku lho. Uang tersebut masih laku untuk membayar uang ganti gas kalo kita ikut masak mie rebus satu pcs. Biasanya nyewa kompor sama mbak- mbak yang juga menjual makanan di dalam pondok. Biasanya mbak - mbak yang sudah lama tinggal di pondok untuk mengabdi, namanya mbak Hikmah istrinya kang Tajar yang ngurusi pengairan di pondok. Mereka tinggal disitu hingga punya tiga puteri. Yang paling besar dulu muridku di MI Ma'arif Nurul Haromain kelas tiga. Alumni yang berkhidmat seperti kang Tajar dan keluarga itu banyak di Nurul Haromain. Selain mengurusi sarana dan prasarana pondok, mereka para ustadz dan ustadzah mengajar kitab dan menerima setoran hafalan Al qur'an. Mereka hidup dengan sangat sederhana. Ada yang sambil menjual makanan kecil ada yang kang santrinya menjadi kuli bangunan di sekitar kampung di sekitar pondok. Tapi ada juga yang sarjana sehingga bisa mendapatkan pekerjaan kantoran di Jogja. Tapi overall ya lulusan SMK dan bekerja dengan penghasilan yang minim.  Tapi mereka kulihat tidak pernah mengeluh, mereka hanya ingin mendapatkan barokahnya mondok dengan berkhidmat hingga tahun keberapa juga mereka tidak tahu seridho Abah Yai saja. Kalau Abah Yai memerintahkan pulang ya pulang sering disebut boyong. Kalau belum ya berarti masih terus berkhidmat di pondok. Karena apa yang dikatakan Abah Yai bagi santrinya adalah titah. 
Ketika menjadi santri Nurul Haromain saya mempunyai pengalaman perdana ziarah walisongo dan Madura (kyai kholil Bisri Bangkalan). Di sunan Gunung Jati Cirebon nampak banyak mobil - mobil pribadi merk - merk mahal seperti alpard dll, ya mereka orang kayanya NU. Namun memang tidak saya temui tempat istirahat, untuk sekedar ngobrol sejenak di daerah tempat ziarah yang exclusive, semuanya serba merakyat dan sederhana. Orang - orang kayanya NU juga biasa nongkrong di tempat - tempat sederhana di sekitar tempat ziarah, begitu juga kyai-kyainya. Yang menurut saya bagus. Biasanya para kyai NU itu menitipkan anak - anaknya di pondok pesantren teman - temannya yang sesama Kyai juga, dan tetap pondok pesantren yang sejenis yaitu pondok pesantren salaf yang sederhana. Jadi mereka sangat paham kondisi akar rumput mereka. Semua punya fasilitas sama, baik santri yang anak kyai maupun santri keturunan para habib yang keturunan arab.
Mondok di Nurul Haromain, saya merasakan belajar yang sangat manusiawi. Ini berbeda dengan swasana belajar di sekolah umum. Belajar di pondok itu tidak abai dengan masyarakat. Misal ada yang wafat ya ngajinya libur dulu para santri takziah, Jika ada yang syukuran lahiran anak ya ngajinya libur dulu para santri mengadiri syukuran, kalau ada undangan keluar misal diundang untuk menghadiri pengajian atau utnuk mengisi dzikir Alkhidmah ya kita keluar pondok menghadiri undangan tersebut. Biasanya naik bus atau truk jika jaraknya dekat. Jadi mondoknya tidak bosan, tidak di dalam pondok terus, tapi ada acara keluar, dan itu sangat menyenangkan bagi para santri karena mendapatkan makanan yang berbeda dari biasanya di pondak dan tentu saja bonus jalan -jalan. 
Untuk materi ngaji kitab di madrasah diniyah Nurut Tauhid menggunakan kitab jawa pegon dari kelas Shiffir Hingga Alfiyah. Biasanya ngaji  kitab di madrasah diniyah itu malam hari ba'da isya hinggaj jam 22.00 WIB. Kalau pagi jam 09.00 - 11.00 WIB itu biasanya ngaji kitab Riyadhus Sholihin, Tafsir Jalalen, Fathul Muin, dan untuk khusus santri putri saat Ramadhan adalah kitab ahlaq Bidayatul hidayahnya Imam Ghazali, biasanya diajar langsung oleh  Bu nyai. selain ngaji kitab di pondok pesantren Nurul Haromain juga ada takhfidz Qur'an. Biasanya yang menghafal Qur'an dimulai saat usia SMK atau Madrasah Aliyah. Kalau santri putri diperbolehkan untuk mengambil kelas kitab dan takhfidz tapi bagi santri  putra diminta memilih sama Abah Yai untuk mengambil salah satu saja, misalnya kitab saja atau takhfidz saja. Pertimbangannya dari urf (kebiasaan) saja ,kalau santri putri biasanya mampu, tapi kalu santri putra biasanya tidak sanggup kalau untuk mengambil dua kelas sekaligus.
Abah Yai sangat ideal dalam visinya. Kalau pesantren ya tentu saja ingin mencetak para kyai. Jadi kalau kita mendengarkan kajian biasanya Abah Yai menyampaikan kajian ba'da maghrib dan ba'da shubuh ,dengan diselipkan motivasi yakni kalian sedang kulakan ilmu makanya dicatat nanti sewaktu - waktu kulakanmu laku kamu sudah siap. Selain ngaj, santri yang besar - besar (khubbar) biasanya yang sudah lulus SMK atau MA dibebankan khidmah ( mengabdi). Macam- macam bentuk pengabdiannya. Ada yang pandai ya mengajar jadi ustadz, ada yang pintar dan punya uang ya dirorong untuk mondok lagi diluar negeri ada yang di Turkey ( untuk Tahfidz), ada yang di Yaman, dan ada pula di Abuya Syeikh Ahmad di Makkah. Kalau tidak punya kemampuan dalam kepintaran ya mengabdi sebisanya. Misal memasak untuk keluarga kyai, memasak untuk para santri, menjaga dan merawat putra / putri dan cucu Abah Yai, jadi driver Abah Yai dan Ibuk dll. semua dikerjakan oleh para santri yang berkhidmat. Jadi kyai ya tugasnya belajar, ngajar, memimpin wirid, melayani masyarakat dan mendoakan umat. Selain berpikir perkembangan pondok sebagain tugas pokoknya.
Itu saja sekilas tentang pondok salaf NU Nurul Haromain Kulonprogo. Last but not least alhamdulillah berkesempatan mondok entah dengan alasan apapun qodarulloh itu terjadi. Lain kali aku ceritakan ya tentang pengalamanku yang lain selama empat tahun di pondok. Semoga bermanfaat... Wallohu a'lam bii showab...


Ummi.

  Sudah sebulan yang lalu bulan April menyapa. Pada bulan tersebut teringat saya pada salah satu sosok mulia inspirasi dalam hidupku. Siapak...