Jumat, 15 Mei 2015

Festival Film Purbalingga 2015

Malam Jum'at kemarin, saya berkesempatan menonton empat film yang diputar oleh Komunitas Film Purbalingga yang bekerja sama dengan yayasan literasi bangsa. Media yang digunakan adalah layar tancap. Menurutku unik cara ini. Barang kali sahabat - sahabat yang membaca tulisan ini belum pernah mengalami masa - masa menonton layar tancep. Saya termasuk yang pernah mengalami saat saya masih kecil. Layar tancap ada sekitar tahun delapan puluhan. Dulu didominasi dengan film - film nya bang haji Rhoma Irama dan edukasi tentang Keluarga Berencana. Bertempt di lapangan Desa Purwanegara dimana kantor PKPU berada saya menonton empat film pendek berdurasi setengah jm-an bersama masyarakat Purwanegara. Nuansanya sangat meraknyat dn kekeluargaan, ditambah beberapa pedagang kecil seperti pedagang cilok turut meramaikan acara ini. 

Well...film pertama dan kedua dibuat oleh anak-anak komunitas film dari sekolah SMK di Purbalingga. Kedua SMK tersebut adlah SMK Bukateja dengan judul film "gugat pegat" dan SMK N 1 Purbalingga dengan judul film " joblosan". Keduanya menggunakan bahasa pengantar Banyumasan. Pada film gugat pegat yang dalam bahasa Indonesia adalah gugat cerai, ingin menympaikan bahwa tugas seorang swami adalah mencari nafkah. Pada film ini dibalik, yang mencari nafkah adalah seorang isteri sebagai buruh pabrik tentu saja pabrik yang terkenal di Purbalingga adalah pabrik rambut wig selain pabrik bulu mata. Karena sang swami tidk bekerja maka sang istri menjadi terbiasa kerja lembur dengan sering diantar tukang ojek yang tiap malam berganti-ganti. Akhirnya terjadi pertengkaran dan sang isteri menggugat cerai swaminya. Unik menurut sya isunya, mengajak para perempuan untuk berani menggugat cerai swami yang tidak bertanggung jawab.Dan tentu saja memberikan edukasi bahwa para swami harus bertanggung jawab jika tidak maka siap-siap saja untuk digugat cerai oleh sang isteri. Mantap. 

Fil kedua berjudul Coblosan, merupakan edukasi kepada masyrakat untuk ikut serta berpartisipasi aktif di ranah politik. Disimbolkan dengan pemilihan kepala Desa. Ada seorang loyalis calon kepala Desa yang bernama mas Putera untuk dijagokan oleh orang ini. Mas Putera orangnya baik dn tnggung jawab. Namun dari tim penyuksesn kubu yang lain menawarkan money politic termasuk orang yang loyal dengan mas Putera juga ditawari uang tersebut. Namun ada warga yang menerima uang sogokan itu. Alhasil pemenang pemilihan kepala Desa tidak dimenangkan oleh kubu mas Putera karena saat ini masyarakat masih tergiur oleh money politic. Setelah menjabat, kondisi kelurahan tidak ada perubahan. Pukul sepuluh pagi saja belum ada yang berkantor. Edukasinya adalah No Money Politic untuk pemimpin yang berkwalitas. 

Film ketiga dan keempat menggunakan pengantar bahasa jawa wetan, lebih alus. Bahkan di film ketiga yang berjudul Lumanten ada seorang pemin legendaris Jogyakarta dan sekitarnya yakni pemain Den Bagusing Ngarso yang dulu sangat terkenal di TVRI Yogyakarta. "Lumaten" menceritakan sebuah keluarga yang sedang membagi warisan. Warisan yang dibagikan bukan tanah dan bangunan melainkan almari. Setiap anak mempunyai jatah satu almari yang bisa dibawa kerumah masing-masing. Anaknya ada empat. Ada tiga putera nya yang berhasil, ada yang menjadi dokter dan dua sarjana. Sedangkan ada seorang anak yang kurang beruntung dalam pendidikan. Ia masih tinggal bersmaa sang ibu dan berprofesi sebagai penjual bensin eceran di depan rumah. Sang Ibu memerintahkan agar almari segera dibawa pulang kerumah masing- masing. Al hasil lemari dibawa pergi dari rumah pusaka mereka (orang tua) dan ternyata almari tersebut oleh putera mereka tidak dibawa ke rumah melainkan ada yang di taruh di gudang pinggir jalan, ada yang dijual di toko almari bekas. Hanya satu al mari yang bermanfaat yakni almari si penjual bensin eceran. Ia memakai almari tersebut untuk berjualan bensin, awalnya dgangan bensinnya hanya diletakkan diatas meja dipinggir jalan. Dan sang anak yang secara dzohir kurang dibidang pendidikan inilah yang akhirnya mengurus sang Ibu yang susah berjalan.  Seperti itulah "Lumanten". Bahwa kita tidak bisa mengukur keberkahan, kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya hanya dengan kita punya kedudukan tinggi. Tapi bagaimana memaknai hidup, meskipun dalam pandangan masyarakat yang sarjana dan dokter lebih mulia kedudukannya, tapi dalam hal berbakti, memaknai warisan orang tua mana yang lebih tinggi derajatnya. Jadi benar, derajat seseorang itu bukan pada harta maupun tingkat kesajarnaan seseorang. 

Film terakhir adalah berupa film dokumenter  besutan UNDP yang berkish tentang ketangguhan nenek-nenek di lereng gunung Merapi pasca erupsi. Film ini berjudul "Digdya ing Beboyo" Ada tiga nenek-nenek yang mempunyai profesi baru yakni mengumpulkan tanaman pegagan. Tanaman ini tumbuh setelah erupsi. Sebelum terjadi erupsi tanaman pegagan tidak tumbuh di lereng merapi atau belum ada. Tanaman pegagan setelah dipetik maka dijemur, setelh tanaman pegagan kering biasny dijual ke pasar untuk olahan jamu, atau dikonsumsi sendiri. Seperti itulah mata pencaharian baru ketiga nenek-nenek lereng Merapi. Bereka bertahan di lereng tidak mau berpindh tempat tinggal sembari mencari peluang baru yakni berprofesi sebagai pencari tanaman pegagan. Dari film ini kita bisa meneladani bahwa yang bisa menolong diri kita adalah yang pertama diri sendiri. 

Besar harapan komunitas-komunitas film seperti komunitas film Purbalingga bisa tumbuh subur di berbagai daerah. Sehingga mereka bisa membuat film sendiri dengan mengangkat kearifan lokal yang ada dan bisa mencetak sineas-sineas muda baru dengan kreasi film yang bermakna dan mencerahkan bagi masyarakat luas. Selamat Berkarya dan Jayalah selalu Film Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...