Kamis, 23 April 2015

Rezeki Yang Berkah

Beberapa waktu lalu seorang sahabat lama menelpon. Nampak bersemangat menceritakan usaha barunya. Ya...sahabatku ini resign dari pekerjaannya sebagai seorang bankir bank konvensional. Turut senang mendengarnya. Dan takjub melihat proses kesadaran akan nilai dari seseorang terhadap makna tertentu yakni Rezeki Yang Berkah. Sekitar dua tahun lalu sahabatku ini pernah bercerita, hingga dalam ceritanya ia sempat menangis. Tentu tidak sepenuhnya cerita sambil menangis. Karena dia laki-laki. Saat menceritakan kondisi pekerjaannya, saat itu ia menangani nasabah baik colekting maupun mendampingi nasabah dalam usahanya, pasti sekaligus dengan menagih hutang dari para nasabah. 

Dalam hal karier termasuk yang bagus. Untuk area Jakarta selatan ia sempat menjadi karyawan terbaik di bank tersebut. Saat kuliahpun terbilang cerdas, bahkan saat saya kebetulan bertemu salah satu teman SMA nya mengatakan kalau ia jenius." Bukan saya yang ngomong lho ya...." Bagi saya dia adalah sahabat yang baik dan cerdas. IPK nya 3,8 hehehe,,,,,,"pelit ya saya tidak bilang kalau dia jenius?" Takutnya ke GR-an dia kalau baca tulisanku ini. Well...yang akan saya ceritakan adalah perjalanan dia meninggalkan bank konvensional. Suatu hari sahabatku ini mengunjungi salah satu nasabahnya yang terlilit hutang, ternyata kondisinya sangat menyedihkan. Nasabahnya bunuh diri lantaran terlilit hutang. Sahabatku sampai menangis, "betapa jahatya aku, hingga aku mengetahui salah satu nasabahku sampai bunuh diri....".Memang, salah satu job disknya adalah menjadi semacam debt collector untuk para nasabahnya. 

Dalam perenungannya akhirnya ia menemukan arti "apa itu riba?" dan seperti itu salah satu jahatnya riba. Bahkan dalam suatu hadist nabi, dosa riba itu seperti dosa berzina dengan ibu kandung sendiri. Bagi sahabatku yang diberi jalan menemukan makna riba dan meninggalkannya karena bertemu suatu studi kasus dalam kerjaanya itu menjadi sesuatu yang bermakna. Memang kadar untuk memaknai sesuatu bagi masing-masing perorangan itu berbeda-beda. Kalau menurut Daniel H Pink hal yang sangat membantu orang dalam mempermudah memaknai sesuatu adalah dengan penderitaan. Biasanya orang yang terbiasa hidup menderita mungkin kemiskinan lebih mudah dalam hal memaknai sesuatu. Jadi terjawab kenapa yang mau menjadi aktifis di kampus itu anak-anak yang kondisi perekonomiannya menengah kebawah  maka jawabannya adalah karena mereka terbiasa menderita dan lebih mudah menemukan makna dalam hidupnya. Makanya kebanyakan anak-anak yang idealis itu yang berasal dari anak-anak yang miskin. Ini pengamatanku saja. Bahkan salah satu sahabat perempuanku ingin sekali kelak jika sudah punya anak, tidak akan memanjakan anak, bahkan biarkan saja anaknya seperti anak miskin biar apa? biar pandai memaknai sesuatu dalam hidup.

Sahabatku ini yang keluar dari profesi bankir konvensional ini, setelah dua tahun keluar dari bank tersebut. Saat dia bercerita pengen keluar dari pekerjaannya, saya sarankan untuk dipikirkan lagi. Saat itu ia sudah menikah dan sudah mempunyai seorang putri. "Alloh maha tahu hati seseorang" saya katakan begitu. Hati sahabatku sudah ingin berhijrah untuk meninggalkan dunia riba tapi kewajiban untuk memberi nafkah masih berada di pundak. Menafkahi anak isteri itu hukumnya wajib, maka sambil berusaha mencari profesi yang lain yang tetap menghasilkan untuk bisa menafkahi keluarga. Finally, setelah semuanya siap, sahabatku resign dan membuka usaha dengan beberapa teman sesama karyawan bank tersebut. Saat terakhir menelpon ia bilang : "Alhamdulillah aku bisa memberi nafkah keluargaku dari yang halal bukan riba dan aku punya lebih banyak waktu untuk keluargaku terlebih anakku".

Betapa hidayah itu tak akan lari kemana jika memang akan mendapatkannya. Namun tak boleh pula kita tak berusaha untuk mencari hidayah itu. Dalam hal apapun. Dan kadang betapa indahnya turut menyaksikan sahabat, teman atau siapapun yang menikmati proses bekerjanya hidayah hingga ia hidup dalam kehidupan yang lebih baik which is kehidupan yang disukai Alloh SWT. *Terharu, kalau sahabatku ini  perempuan pasti sudah saya peluk erat, sayangnya dia laki-laki jadi saya memeluk bantal sajalah hehehe....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...