Jumat, 21 Juni 2013

Muamalat dan Kedermawanan

          Praktik penting dari muamalat, selain pelarangan riba sebagaimana telah disebut di atas, adalah pemerataan kekayaan itu sendiri secara sistematis. Ada lima pilar muamalat yang kini praktis telah dilupakan dan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Kelima pilar tersebut adalah:1. Mata uang yang halal,2.Terselenggaranya suq (infrastruktur niaga berupa pasar yang terbuka untuk umum),3.Aktifnya para pedagang (kabilah atau karavan),4.Beroperasinya unit-unit produksi mandiri dalam bentuk sinf (paguyuban-paguyuban produksi atau gilda),5.Kontrak-kontrak yang sesuai syari'ah.

          Sebagaimana akan diuraikan dibawah ini, bahwa praktik muamalat akan mencegah terjadinya penumpukan kekayaan pada segelintir orang,yang dengan sendirinya memeratakannya kepada orang banyak. Institusi-institusi sosial, terutama wakaf dan bentuk-bentuk sedekah lainnya terintegrasi di dalamnya sebagai bagian tak terpisahkan. Tetapi zakat bukanlah sedekah sukarela apalagi, sebagaimana dengan tepat dikatakan oleh Kozlowski (2006), merupakan filantropi. Zakat adalah satu-satunya "pajak" personal dalam Islam yang dikenakan pada seseorang. Tapi beda pajak dalam kapitalisme , dilakukan dengan aturan-aturan yang jelas dan ketat, serta sangat ringan. Zakat atas harta hanyalah dibebankan kepada mereka yang memiliki tabungan penuh selama setahun,senilai 20 dinar emas (84,7 gr emas,22 karat,setara sekitar Rp.36.000.00 pada tanggal 21 Juni 2013) dan 200 dirham (593gr, perak murni,setara Rp.14.000.000,00. pada tanggal 21 Juni 2013).Kewajiban zakatnya adalah 2,5% jauh dibawah PPn(Pajak pertambahan nilai) yang dikenakan oleh negara fiskal di seluruh dunia ini pada tiap detik seseorang membeli barang dan jasa, yang nilainya umumnya berkisar 10-15%.

             Pengategorisasian zakat, dan bentuk-bentuk sedekah lain dalam muamalat sebagai filantropi, terjadi sebagai akibat dari asimilasi Islam ke dalam Kapitalisme, sebagai gerakan Islamisasi (Saidi,2007). Transformasi yang sama terjadi pada wakaf, sebuah tradisi yang bermula dari pengelolaan aset nyata produktif yang kemudian dimanfaatkan hasilnya dalam kegiatan sosial, yang kini diarahkan menjadi "wakaf tunai". Dalam praktiknya wakaf tunai merupakan bentuk pengelolaan asset tidak nyata, berupa uang kertas dan turunannya, kedalam format produk-produk kapitalis seperti deposito, saham danareksa dan sejenisnya. Wakaf tunai tidak lain adalah Islamisasi "dana abadi" (Endowment fund) dari format kapitalisme. Fatwa tentang wakaf uang yang dikeluarkan oleh MUI tahun 2002, misalnya menyatakan bahwa "termasuk di dalamnya pengertian uang adalh surat-surat berharga". Secara lebih spesifik MUI (2001) juga telah menerbitkan Fatwa tentang Reksa Dana Syariah.

             Tujuan pokok dari pengelolaan dana abadi adalh untuk menyediakan pendanaan bagi organisasi dan kegiatan sosial yang terus-menerus lewat aset permanen uang, surat berharga atau properti yang diinvestasikan untuk memperoleh pemasukan. Dalam format Kapitalisme pengelolaan dana abadi dilakukan lewat instrumen finansial, terutama pasar uang dan pasar saham (Gonzales,2004). Watak "permanen" dan "produktif" dari dana abadi ini sama dengan yang ada pada wakaf. Demikian juga tujuan pemanfaatan dana abadi dan wakaf ini, keduanya untuk kepentingan sosial. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan di atas, wakatk "permanen" dan "produktif" pada wakaf haruslah berasal dan berbentuk perdagangan, bukan seperti endowment fund dalam format kapitalisme.

           Kozlowski (2006) menunjukkan sejumlah bukti transformasi wakaf menjadi "dana abadi" yang sangat jelas, pada tiga tiga kasus filantropi di dunia Islam kontemporer. Pada yayasan filantropi-filantripi di Turki, India dan Pakistan, serta Saudi Arabia. Dengan tepat ia memberikan kesimpulan, antara lain bahwa industrialis, syekh minyak, juru dakwah, politisi dan kaum reformis sejati semua terlibat dalam filantropi (Kozlowski,2006). Selanjutnya ia mengatakan,"sesungguhnya mereka telah menggantikan para sultan dan para Ra'is yang mendominasi wakaf dunia pada awal modern".Tetapi, sebagaimana ditampilkan oleh Maksudoglu (2002), di zaman ketika para sultan dan ra'is ini berkuasalah setidaknya dalam sejarah panjang Daulah Ustmani (dari abad ke 13-ke 20 Masehi) wakaf benar-benar berperan sebagai fondasi utama pemerataan kesejahteraan akyat, dan bukan menjadi instrumen saja dalam konteks kalitalis sebagaimana kini "wakaf tunai" di tangan filantropis Islam.

          Wakaf keluarga Istana bukanlah satu-satunya bentuk wakaf yang lazim, meskipun dengan sendirinya yang terbesar, karena para pemimpin ini semata-mata bertindak sebagai wali bagi kepentingan umum. Studi kasus pada daulah-daulah Islam, sebelum masa Ustmani, yakni di Irak dan Iran (pada abad 10-12), sebagaimana ditunjukkan oleh Arjomand (2006), juga memperlihatkan wakaf sebagai bagian dari apa yang dalam dunia modern dikenal sebagai "kebijakan publik". Nilai sedekah anggota keluarga kesultanan, baik dalam ukuran zamannya maupun kekinian, sebabaimana ditunjuk oleh Arjomand (2006) ini bisa dibandingkan dengan "sedekah" para filantropis. Anggaran tahunan wakaf Nizamal-Mulk (Menteri kesultanan Saljuk,Khurasan, abad ke - 11 Masehi) untuk membiayai madrasahdan para gurunya, misalnya mencapai 600 ribu dinar emas. Contoh lain Terken Khatun, seorang puteri dari Fars, jyga dari Bani Saljuk, memberikan wakaf sebesar 200 ribu dinar emas.Harga 1 dinar emas per 21 Juni 2013 adalah Rp.1.800.000,00.

             Tradisi wakaf bukan cuma dilakukan oleh keluarga bangsawan. Islam mendorong setiap individu, terlepas dari jabatan dan kekayaannya, untuk bersedekah, dan sedekah yang memiliki nilai paling utama memberikan pahala yang tidak terputus oleh kematian si pemberinya yang dikenal sebagai sedekah jariyah,adalah wakaf. Pada dataran ini wakaf merupakan sumber utama infrastruktur sosial, dalam beragam bentuknya mulai dari pasar, pergudangan, sekolah, jembatan, taman-taman kota, sampai sarana-sarana produksi kolektif. Wakaf-wakaf orang biasa ini bersumber dari dan menghidupi satuan-satuan produksi otonom dalam bentuk-bentuk gilda. yang hidup nyaman dalam daulah Islam (Inalcik,1994).

       Dengan infrastruktur kolektif berupa wakaf, yang terpenting diantaranya adalah pasar, maka kekayaan akan mengalami pemerataan secara dinamis. Monopili pasar daan produksi yang menutup akses pada sebagaian besar orang serta penumpukan kekayaan pada sedikit  kaum kapitalis tidak akan terjadi. Kesejahteraan otomatis merata. Bagi yang benar-benar tidak mampu, karena satu dan lain hal, berberanlah zakat, sebagai the last resort, dalam menolong kaum papa. Telah disebutkan sebelumnya, berbeda dari sedekah lain yang bersifat sukarela, zakat karena peran gentingnya sebagai last resort ini, bersifat wajib. Zakat adalh bagian dari institusi publik dalam tata pemerintahan Islam.

*Diambil dari jurnal Galang Agustus 2007 oleh Zaim Saidi












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...