Rabu, 05 Juni 2013

Sang Kyai

Saat ini di bioskop - bioskop tanah air masih memutar film biografi pendiri Nahdhatul Ulama Kyai Haji Hasyim Asari. Kyai Haji Hasyim Asari adalah kakek dari Amdurrahman Wahid yang sering kita sebut Gus Dur mantan Presiden RI. Alhamdulillah saya bersama beberapa teman sudah menonton film tersebut. Tentu mau tidak mau otak kita akan teringat dengan film pendiri Muhammadiyah Kyai Haji Ahmad Dahlan besutan sutradara Hanung Bramantio yang berjudul Sang Pencerah. Maka kali ini siap-siap Hanung mendapatkan tandingan yang menurut saya lebih bagus, dialah Rako Prijanto sutradara Sang Kyai yang berhasil membuat lebih detail sebuah karakter dalam nuansa perang pergerakan dalam mencapai kemerdekaan ataupun perang untuk mempertahankan kemerdekaan.

Saat ini Nahdhatul ulama (NU) masih menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Memang pendataan anggotanya juga masih morat marit sepertinya. Namun itu bukanlah hal mendasar yang penting bagi organisasi pentransfer value keagamaan yang notabene anggotanya adalah kaum menegah ke bawah yang kurang mengenyam bangku pendidikan. Well...bukan hal itu yang akan kita soroti, namun begitu luar biasanya sumbangsih pesantren yang diisi oleh para santri yang nyata sebagai penggerak peraih kemerdekaan di negeri ini. Dengan memahami konsep nasionalisme berawal dari ketaatan beragama. Betapa merindingnya saya saat melihat para pejuang Hizbulloh yang riuh diisi oleh barisan santri dengan semangat membara dengan memekikkan takbir berangkat berjuang dengan modal peralatan perang seadanya untuk membela negeri ini. Tak ayal melihat teman seperjuangan akhirnya mati dalam pertempuran, bahkan ada yang meninggal dipangkuan teman seperjuangannya. Bagaimana rasanya ? tentu itu membutuhkan tingkat keikhlasan yang luar biasa  dan jiwa pengabdian tulus hanya mengharap ridhoNYA semata. Maka nyata itulah Mati Syahid.  Subhanalloh.

Betapa malunya kita saat ini sebagai generasi muda. Baru mendengar isu tentang Wajib Militer (Wamil) saja maju mundur gak karuan dalam menyikapinya. Jauh sekali jiwa kita dengan keikhlasan para pejuang yang notabene anak-anak muda pesantren pada masa itu sekitar tahun 1940 an. Bukan hanya itu, sebagai aktifis yang katanya melanjutkan perjuangan melalui organisasi atau partai juga akhirnya malah banyak yang terjebak pada masalah-masalah pribadi yang belum tuntas hingga akhirnya malah tersangkut korupsi dan berbagai hal amoral yang akhirnya mengotori perjuangan. Benar-benar merekalah para generasi muda tahun- tahun 1940an, mereka yang berjuang meraih kemerdekaan dan berperang mempertahankan kemerdekaan setelahnya, saat akan dijajah kembali oleh Belanda NICA yang membonceng tentara Sekutu. Itu perjuangan nyata.

Memotret wajah NU dalam film sang Kyai terkait hal mendapatkan kue dalam pemerintahan negeri ini sempet membuat saya mengenyirkan dahi. Teringat obrolan ringan di kantor Dompet Dhuafa dulu bersama teman-teman saat membicarakan kenapa kalau perayaan Iedul Fitri selalu tidak sama di Negeri ini. Itu tergantung menteri agamanya siapa. Pasti pemerintah ikut tanggal perayaan Iedul Fitrinya NU lantaran menteri agamanya berasal dari NU.Memang akhirnya akan menjadi diskusi yang tiap tahun diulang dan diulang tentang metode bagaimana pengambilan keputusan melalui hilal dan rukyat. Tapi masalah memutuskan kapan hari raya Iedul Fitri menurut kami dulu ya itu simbol politis saja. Kalau menteri agamanya NU maka Iedul Fitrinya barenglah sama NU. Coba deh sekali-kali menteri agamanya berasal dari Muhammadiyah pasti nanti Iedul Fitrinya bareng dengan keputusan Iedul Fitrinya Muhammadiyah. Namun itu belum pernah terwujud. Negeri ini memang semuanya bisa dipolitisasi termasuk menentukan hari lebaran Iedul Fitri, Ironis.

Kenapa demikian? Karena ternyata memang dalam sejarahnya selalu NU yang memimpin kementrian agama. Menteri agamanya selalu dari NU. Hingga saat ini Pak Surya Dharma Ali menteri agama juga berasal dari NU. Setelah menonton film Sang Kyai saya merasa memang NU secara sejarah layak mendapatkan kue kementrian agama di negeri ini. Sejarah mencatat bahwa sebelum masa kemerdekaan RI tahun 1945 Kyai Haji Wakhid Hasyim ayahanda Gus Dur sudah bertugas di Jakarta untuk memimpin Shoburu (urusan keagamaan) yang dibentuk oleh pendudukan Jepang di negeri ini. Memang keberadaan Kyai Haji Wakhid Hasyim adalah konsekwensi atas kesepakatan cooperative antara Kyai Haji Wakhid Hasyim dengan penjajah Jepang untuk membebaskan Kyai Haji Hasyim Asari yang dalam penahanan pemerintah Jepang lantaran tidak mau melakukan Sekerei. Sekerei adalah upacara menyembah matahari. Kyai Haji Hasyim Asari menolak sekeri karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dalam ajaran Islam yang wajib disembah hanya Alloh SWT. Maka atas penolakan tersebut Kyai Haji Hasyim Asari diganjar penjara oleh penjajah Jepang.

Hal menarik saat Masyumi dan Hizbulloh disebut dalam pergerakan meraih kemerdekaan dan pergerakan mempertahankan kemerdekaan. Nampak bahwa NU masuk pergerakan tersebut tepatnya menjadi bagian dalam tubuh pergerakan Masyumi dan Hizbulloh. Maka saya teringat pula saat Bapak dirumah menerima tamu teman - temannya dulu, beberapa diantara mereka saya kenal ada Pakdhe ini, Phak dhe itu yang bisa berjam-jam ngobrol sama Bapak dirumah. Saat saya tanya umi pakdhe ini, Pakdhe itu teman apa sama Bapak kok bisa ngobrol selama itu?  "oh itu teman waktu dulu di Hizbulloh." jawab umi. Bapak dan teman-temanya  bukan NU. Mereka santri kalong adalah iya. Mungkin juga pernah ngalong di Pesantren NU. Bahkan Bapak dan teman-temannya akhirnya lebih condong ke Muhammadiyah. Tapi mereka adalah Hizbulloh. Jadi Hizbulloh itu memang wadah bagi para pemuda muslim dalam pergerakan dalam melawan penjajahan bukan melulu wadahnya para pemuda NU. Perlu diluruskan dan dipertegas bahwa Hizbulloh adalah muslim bukan Hizbulloh adalah NU.

Hal yang bisa menjadi pelajaran kita bersama bahwa pada masa itu pergerakan pemuda muslim bisa bersatu dalam Hizbulloh. Karena adanya common anemy (musuh bersama) yaitu  penjajah Jepang maupun Belanda. Hal yang saat ini sangat sulit dilihat bagi bersatunya para kader partai atau aktifis keagamaan yang sama-sama muslim untuk bersatu dalam satu wadah. Malah sering kita lihat sama-sama aktifis sesama muslim menjatuhkan aktifis yang lain bahkan hal yang  diperjuangkan  nyata- nyata sama dalam memperjuangkan ketauhidannya. Ya Robbi jauhkanlah kami dari hal-hal semacam itu.

Hal terakhir yang bisa kita ambil pelajarannya. Adalah mengenai sami'na wa ato'nanya jamaah kepada sang kyai. Awalnya berfikir bahwa saat ini para nahdhiyyin terkesan sangat tunduk, patuh terhadap apa kata kyainya lantaran para nahdhiyyin berada pada posisi tingkat pendidikan masyarakat yang tidak tinggi. Namun pada perjalannya ternyata ada juga santri yang bernama Harun yang tidak sependapat dengan kebijakan yang diambil oleh sang Kyai. Ketika sang kyai memilih strategy bercooperative terhadap penjajah maka Harun yang masih mudah menentangnya dan meninggalkan pesantren memilih menjadi BSH (Barisan sakit hati) nya pesantren. 

Hal yang nyata bisa kita liat pada salah satu partai Islam PKS saat ini.Kepercayaan antara qiyadah wa jundiyah (pemimpin dan yang dipimpinnya) juga merupakan aspek yang bisa ditegakkan dalm PKS. Sehingga sering kita lihat bayak loyalis PKS yang dengan membabi buta membela PKS apapun kebijakan yang diambil oleh qiyadahnya. Lah..pertanyaannya apakah PKS ini juga berbasis massa kaum yang tidak terpelajar? Jawabannya tentu tidak.. Bahkan PKS dibangun di kampus-kampus, disekolah-sekolah dari kaum cerdik pandai. Ternyata bisa juga sami'na wa ato'na. Menurut anda apa yang terjadi dengan kondisi sama yang dialami oleh Nahdhatul ulama dengan sami'na Waato'nanya dan adab Qiyadah Wajundiyahnya PKS? bukan pada tingkat kecerdasan dan pendidikan namun pada bahwa value semacam ini bisa didoktrinkan pada siapapun, jika sistem itu bekerja dengan baik. Ternyata sama perilaku organisasi keagamaan baik yang berbasis massa kaum cerdik pandai maupun kaum yang masyarakatnya berpendidikan kurang.

Last But Not Least, selamat buat sutrada Rako Prijanto saya kasih nilai 80, itu sudah mendapatkan nilai A. Saya tunggu karya -karyanya yang lain. Bagus banget Ikranegara dan Cristine Hakim actingnya, selalu membuat saya terpukau akan naturalnya lakon yang anda perankan. Adipati dolken menurut saya punya peluang banyak dan kesempatan di depan mata untuk menjadi aktor yang mumpuni lantaran masih muda. Tunjukkan bahwa kamu bisa bermain dalm film-film berkwalitas tidak hanya bisa menghiasi FTV dengan wajah gantengmu namun tak perlu malu tampil dengan muka yang dibuat tidak ganteng karena seperti itulah sejatinya seorang aktor.  Wollohualam Biishowab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...