Kamis, 03 November 2011

Upaya Optimalisasi Badan Wakaf Indonesia


Badan Wakaf Indonesia sebagai badan otonom dibawah presiden yang diberi amanah untuk mengatur regulasi dan memajukan wakaf di tanah air saat ini belum terasa keberadaanya  bagi kami selaku nadzir wakaf yang ada. Sebagai contoh gerakan wakaf tunai yang BWI canangkanpun tak membekas dalam ranah pergerakan wakaf. Nihil. 

Upaya optimalisasi BWI dapat dilakukan dengan membenanahi secara structural posisi BWI. Hal ini terkait dengan Departemen Agama yang disinyalir belum berkenan jika wakaf diurus oleh BWI. Keberadaan dana wakaf dari luar negeri terlebih dana dari timur tengah adalah alasan mengapa Departemen Agama belum ikhlas melepas wakaf dalam bagaian yang diurusi olehnya. Dana wakaf dari luar negeri biasanya dengan persyaratan bahwa yang menerima adalah badan Negara bukan lembaga nirlaba atau yayasan, melainkan melalui institusi kelembagaan negara. Alih – alih memperebutkan dana wakaf luar negeri inilah yang menjadi berat bagi Departemen Agama untuk melepas kepengurusan wakaf. Pemisahan penuh dan posisi kuat BWI perlu dipertegas untuk memperlancar roda pertumbuhan pengurusan wakaf dinegeri ini.

Dari sisi bagian kegiatan BWI juga sangat penting untuk dievaluasi. Posisi regulator wakaf tidak selayaknya disandingkan dengan posisi operator. Ini menyebabkan tumpang tindih fungsi BWI. Di satu sisi BWI adalah regulator, disisi lain BWI adalah operator juga, tentu akan menimbulkan double kepentingan untuk kedepannya. Jika alasan menjadi operator wakaf adalah kurangnya dana yang diberikan pemerintah melalui dana APBN maka yang perlu diluruskan adalah menagih komitmen pemerintah dalam hal ini presiden. Komitmen tersebut dibuktikan dengan penggelontoran dana yang mencukupi bagi tumbuh dan hidupnya BWI tanpa harus menjadi operator wakaf.

Fungsi lain BWI adalah pembinaan nadzir. Dalam hal ini sebaiknya BWI membuat rating pengklasifikasian kapasitas nadzir. Misalnya bintang satu adalah nadzir tradisional yang belum financial literate, belum dikelola secara professional.Nadzir bintang dua adalah nadzir yang sudah dikelola sesuai managemen lembaga nadzir namun belum sesuai standart lembaga kenadziran. Bintang tiga adalah lembaga nadzir yang telah professional sesuai management lembaga nadzir dan accountable (sudah diaudit oleh akuntan public).  

Dampaknya, seluruh nadzir wakaf lembaga baik yang masih tradisional maupun sudah professional akan merasakan kebijakan dan sentuhan pembinaan dari BWI. Tidak seperti saat ini. Misalnya kebijakan penggalangan dana wakaf melaui LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) dikeluarkan untuk mengatasi masalah kekurangprofesionalan nadzir-nadzir di daerah yang belum melek secara keuangan / financial literate.  Namun disatu sisi kebijakan tersebut tidak mengakomodir nadzir-nadzir yang telah dipercaya oleh masyarakat. Nadzir – nadzir wakaf yang telah menerapkan management pengelolaan wakaf dengan profesional atau menuju professional merasa fungsi kenazhirannya dikooptasi oleh bank  syariah – bank syariah  yang termasuk dalam LKS PWU.

Bagaimana dengan nadzir-nadzir wakaf lembaga yang masih tradisional ? tentu saja lini pembinaan yang musti dilakukan. Terus menerus sehingga misalnya diawal nadzir tersebut masih bintang satu, maka BWI harus berusaha menaikkan bintang rating bagi lenbaga nadzir tradisional tersebut. Bukan malah dikooptasi juga kepada bank syariah – bank syariah yang masuk dalam LKS PWU.

Memang saat ini BWI masih terus harus dibenahi dan dievaluasi kebijakan – kebijakannya. Namun melihat kondisi BWI saat ini. Saya  merasa keberadaanya selangkah lebih maju dibandingkan dengan keberadaan BAZNAS pada era awal pendiriannya. Semoga berbekal optimism tersebut, dapat memberikan energy positif bagi wajah perkembangan pergerakan wakaf di negeri ini. Amiiin ya robbal alaamiiin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...