Senin, 29 Oktober 2012

Kering......

Hampir genap sepuluh harimasuk  saya bertempat tinggal di ibu kota jawa tengah. Bali ndeso mbangun deso, jargon yang saya lihat diberbagai sudut kota. Tidak sedalam itu buat saya. Saya sebenarnya tidak berniat bali ndeso mbangun deso seperti jargon andalan pak gubernur itu.  Simple saja, saya pengen keluar Jakarta, pengen sekolah dan dana yang sesuai dengan budget saya untuk melanajutkan srtata dua di UNDIP.

Saat pertama kali datang dan mensurvey untuk mencari kost-kostan saya merasa not too bad untuk tempat tinggal, tidak kumuh dan layak untuk kost. Saat itu badan rasanya pegal sekali lantaran perjalanan jauh sekitar enam jam dengan travel dari Purwokerto. Untuk menghilangkan rasa pegal coba kucari - cari salon muslimah untuk massage, dengan harapan pegal - pegal di badan saya bisa hilang. Setelah berjalan - jalan tak satupun salon di sekitar kampus yang khusus muslimah. Maka saya dengan sangat terpaksa masuk salah satu salon umum (bukan untuk muslimah).

Sesampainya dirumah kakak di Purwokerto, saya bercerita " bagus tuh kalo mau investasi salon muslimah, sepertinya belum ada disana. Kata kakak menyahutiku "sepertinya semarang lain dengan di Purwokerto,disana kurang begitu Islami". Mungkin karena itu pula tidak ada yang maumembuka salon muslimah di sekitar kampus. Terkait di Semarang kurang Islami, saya jadi teringat teman kakak dulu yang sama aktifis ormas Islam di kampung, ternyata kedapatan menghamili teman satu kampus di kota tersebut pula.

Dua minggu dirumah kakak Purwokerto saya rasa cukup dan hidupku kulanjutkan di Semarang. Panas adalah hal wajar yang disebutkan ketika menilai kota ini. Namun panas bisa diakali dengan AC atau kipas angin. itu bukan masalh buat saya, meskipun awal - awal saya merasa kurang nyaman dengan hal itu. Rasanya kok lebih panas  Semarang daripada di Jakarta.Bertemu ibu kost yang baik adalah salah satu anugrah, Alhamdulillah....berpatner dengan Tyas tetangga kamarku juga menyenangkan, membuat hari - hariku membuka lagi kesenangan lama bahkan upgrade terus menerus tentang korea. Yup lantaran Tyas menyukai koreabaik movienya maupun k-popnya. Beruntung saya pernah suka drama dan serial-serial korea jadi bukanlah masalah berpartner tetanggaan kamar dengan Tyas.

Hal yang kukeluhkan adalah nuansa yang kering. Kering dari nuansa Islami. Misalnya untuk hal simple tentang adzan sholat lima waktu. Aneh memang, terbiasa di Jakarta mendengar azan bersait-sautan bahkan sering menikmati adzan yang begitu syahdu saat kost di tempat enyak di Buncit Jakarta dulu. Kenapa di kamarku jarang dengar adzan. Saya tanya ke Tyas, apa benar demikian? ya memang jarang terdengar, kadang ada adzan kadang juga tak terdengar.

Empat deret rumah kerarah kiri, disana ada mushola yang sedang diperbaiki, namun muadzinnya kadang ada, kadang tidak ada. Malah yang sering kudengar suara genjrang - genjreng anak - anak kost depan rumah dengan melantunkan lagu - lagu top fourty dalam negeri. Pengalaman paling unik kemarin saat mau berbuka puasa hari tarwiyah dan hari Arafah. Saya dan Tyas keluar pintu rumah untuk mencari dengar apakah sudah ada adzan maghrib atau belum,benar-benar ironis. Ini semarang bukan Eropa?, masak Islam sudah asing begini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...