Selasa, 21 Mei 2013

Dari Filantropi Ke Transformasi

Semakin banyak perusahaan yang menangani isu-isu sosial melalui kegiatan filantropi. Perusahaan menyumbangkan sebagian pendapatan mereka untuk kegiatan amal dan sosial tertentu. Pendidikan merupakan bidang yang paling banyak diminati untuk filantropi, dimana sebanyak 75 persen perusahaan berpartisipasi membantu pendidikan. Walaupun sumbangan itu akan membantu kegiatan sosial, tujuan utama banyak perusahaan melakukan hal itu adalh untuk meningkatkan reputasi atau memperoleh potongan pajak.

Filantropi tidak hanya erjadi di pasar yang sedang berkembang, justru filantropi lebih populer. Merril Lynch-Capgemini menemukan bahwa konglomerat - konglomerat  di Asia memberikan 12 persen dari kekayaan mereka untuk kegiatan sosial, sedangkan konglomerat di Amerika utara hanya memberikan 8 persen dan di Eropa hanya 5 persen.

Walaupun filantropi membantu masyarakat, kita tidak bisa terlalu berlebihan dalam menilai dampak sosiokulturalnya. Perkembangan filantropi saat ini di dorong oleh perubahan yang terjadi di masyarakat. Orang-orang lebih peduli kepada orang lain dan berkeinginan untuk memberi kembali kepada masyarakat. Menurut polling yang dilakukan Gallup, disaat-saat resesi keuangan, 75 % persen orang Amerika masih menyisihkan pendapatan mereka untuk menyumbang kegiatan-kegiatan sosial. Tranformasi yang terjadi di masyarakat mendorong kegiatan filantropi. Oleh sebab itu, jika perusahaan menangani masalah sosial dengan kegiatan filantropi, hal ini hanya akan berdampak jangka pendek.

Bentuk yang lebih baik untuk menangani tantangan sosial ini adalah cause marketing suatu kegiatan dimana perusahaan mendukung satu isu sosial tertentu melalui kegiatan pemasaran yang mereka lakukan. American Express Company melakukan cause marketing untuk pertama kalinya ketika mereka mengumpulkan dana ketika mereka mengumpulkan dana untuk memperbaiki Patung Liberty. American Express akan memberikan 1 persen dari bunga yang mereka dapatkan dari kartu kredit untuk dana perbaikan Patung libery tersebut. Banyak orang Amerika yang merespons dengan menggunakan kartu kredit American Express daripada menggunakan Visa atau MasterCard.

Di dalam Cause Marketing, keterlibatan perusahaan tidak hanya dalam bentuk dana, namun juga energi. Mereka menghubungkan aktivitas sosial itu dengan produk mereka. Contohnya, Quaker meluncurkan kampanye antikelaparan sebagai suatu upaya mempromosikan manfaat kesehatan dari oatmeal. Mereka akan melakukan berbagai kegiatan seperti sosial, dan donasi berupa oatmeal. Mereka akan melakukan berbagai kegiatan seperti sosial dan donasi berupa oatmeal. Haagen_Dasz memiliki program "Help The Honey Bee", sebuah program yang bertujuan melestarikan lebah madu dan menempatkan lebah madu sebagai salah satu sumber pasokan makanan yang penting, khususnya dalam pembuatan es krim melalui media sosial. Konsumen di dorong untuk menanam bunga dalam mengkonsumsi makanan alami untuk membantu lebah madu itu. Dua toko bahan makanan, Waltrose di Inggris dan Whole Foods di Amerika  juga mempraktekkan cause marketing. Setiap kali konsumen datang untuk berbelanja, mereka akan diberikan sebuah token yang dapat dimasukkan ke kotak-kotak amal yang mereka inginkan. Pada akhir program, token yang berhasil dikumpulkan di dalam kotak amal itu akan ditukar dengan uang dan didonasikan untuk kegiatan sosial yang dituju.

Banyak perusahaan filantropis yang memilih untuk mendukung sebuah aktivitas sosial tertentu yang dapat menarik konsumen ataupun pegawai mereka. Avon Corporations telah membantu mengumpulkan lebih dari seratus juta dolar untuk riset kanker payudara. Tentu saja, konsumen Avon sebagian besar adalah wanita, dan Avon ingin mendukung sebuah aktivitas sosial yang berkaitan dengan wanita seperti kanker payudara. Motorola sangat royal dalam membantu pendanaan sekolah-sekolah teknik utama. Motorola mendaptkan keuntungan dari peningkatan pendidikan dan riset di sekolah-sekolah teknik di mana Motorola dapat merekrut banyak tenaga ahli.

Filantropi dan Cause Marketing menjadi kian populer pada tahun terakhir-terakhir ini. Sebuah survey global yang dilakukan oleh Edelman menunjukkan bahwa 85 persen konsumen lebih menyukai merek-merek yang memiliki kepedulian sosial, 70 persen akan membayar lebih untuk merek-merek tersebut, dan 55 persen akan merekomendasikan merek tersebut kepada keluarga dan teman-teman mereka. Perusahaan sangat menyadari kenyataan ini. Perusahaan juga semakin mengerti bahwa karyawan, konsumen, dan masyarakat membangun citra suatu perusahaan tidak hanya berdasarkan kualitas produk dan jasa yang mereka tawarkan , melainkan juga berdasarkan kepedulian sosial dari perusahaan tersebut. Sebagian besar eksekutif di dunia (95%) mengakui bahwa bisnis harus berkontribusi kepada masyarakat. Mereka memprediksi bahwa keinginan karyawan dan konsumen untuk mendukung kegiatan sosial akan mempengaruhi strategi mereka dalm lima tahun ke depan.
Saat ini, filantropi dan cause marketing sedang berjalan namun belum digunakan secara strategis. Sering kali keduanya hanya sebagai nagian dari public Relation atau strategy komunikasi pemasaran. Karena itu, keduanya tidak mencerminkan pandangan dari eksekutif di tingkat atas dan cara mereka menjalankan perusahaan. Eksekutif perusahaan masih melihat aktivitas sosial sebagai sebuah tanggung jawab, bukan sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan pertumbuhan dean differensiasi.

Filantropi juga dapat melibatkan sebagian konsumen, tetapi bukan dengan tujuan memberdayakan atau mentransformasi mereka. Gaya hidup konsumen akan tetap sama. Pemberdayaan berarti aktualisasi diri. Yaitu, bagaimana membuat konsumen untuk naik ke tingkat ke piramida Maslow dan dapat memenuhi kebutuhan nereka yang lenih tinggi. Menciptakan sebuah transformasi adalh bentuk terbaik marketing dalam sebuah pasar yang mapan.

Dalam Marketing 3.0 penanganan masalah sosial tidak bisa dilakukan hanya sebagai bagian dari public relation atau sebagai suatu cara menghapuskan kritik atas tindakan negatif yang dilakukan perusahaan. Sebaliknya, perusahaan harus bertindak sebagai coporate citizen yang baik dan melibatkan masalah sosial dalm model bisnis mereka. Beberapa perusahaan dapat memperkuat efeknya dengan bergerak dari kampanye filantropi dan cause marketing menuju transformasi sosiokultural.

Transformasi sosiokultural memandang konsumen konsumen sebagai manusia yang harus diberdayakan agar dapat bergerak ke atas dalam piramida kebutuhan Maslow. Hal itu lebih relevan bagi perusahaan, tidak pada level produk, tapi juga pada level model bisnis.Dengan memanfaatkan kekuatan kolaborasi, perusahaan dapat mengurangi biaya dan menciptakan dampak yang lebih kuat.

Secara umum perusahaan didirikan dengan tujuan menghasilkan keuntungan melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan pasar. Jika perusahaan telah berhasil dan berkembang, biasanya perusahaan akan diminta untuk memberikan kontribusi terhadap masalah sosial. Perusahaan dapat memenuhi permintaan ini dengan cara memberikan donasi atau membuat kampanye cause marketing.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat akan mengharapkan perusahaan supaya dapat berfungsi sebagai mesin pengembangan sosiokultural, tidak hanya sebagai mesin pembuat laba. Semakin banyak konsumen yang akan menilai perusahaan berdasarkan komitmen mereka terhadap isu-isu sosial dan publik. Beberapa perusahaan mungkin akan menjawab tantangan sosial itu dengan membangun masyarakat hingga ke dalam karakter mereka. Mereka akan mentransformasi masyarakat. Pada saat itu, perusahaan tersebut telah memasuki Marketing 3.0.

*Bagian paling menarik dalam Marketing 3.0 by Philip Kotler dan Hermawan Kartajaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...