Senin, 20 Mei 2013

Gelarnya atau Belajarnya ?


Siang ini suasana kampus menjadi agak riuh lantaran salah satu professor tempat saya mengajar menunjukkan beberapa ujian yang take home yang disinyalir copy paste. Tidak sama persis, namun ada beberapa tulisan yang sama baik tanda titik, komanya. Mungkin copy paste dan dirubah sedikit. Atau digabung dengan pekerjaan teman yang lain atau di mixed. Lucu ya? Mungkin ditempat anda yang kuliah hal semacam ini tidak terjadi. Mungkin juga sama keadaannya. Ada beberapa hal yang bisa kita ambil hikmah dari kejadian tersebut diatas. 

Yang pertama menjadi dosen memang harus tegas. Apalagi dalam menghadapi era korupsi yang menggila seperti ini. Nilai-nilai idealisme perlu juga untuk dipupuk meskipun terkadang akan disambut negatif oleh para mahasiswa yang malas untuk mengerjakan tugas. Sebenarnya bukan masalah mengerjakan tugas-atau tidaknya justru lebih kepada behavior para mahasiswa dalam menyikapi tugas. Terkadang terfikir, kalau mengerjakan ujian take home yang sudah diwanti-wanti jangan sama dengan yang lain saja masih sama, lha bagaimana mahasiswa malas itu mau membaca buku. Heran saja melihatnya. Apa tidak sayang uang yang dikeluarkan untuk membayar kuliah yang tidak murah namun kesempatan belajar dengan "menikmati belajar" yang sebenarnya tidak pernah tersentuh.

Jika seperti itu maka saya akan menganalisa lebih jauh siapa-siapa mereka. Yup mereka anaknya orang-orang kaya yang sepertinya belum paham bagaimana mencari uang dan membelanjakannya dengan baik. Bagaimana mendapatkan uang untuk bisa kuliah dan bagaimana bisa menikmati belajar di bangku kuliah dengan segala konsekwensinya, membaca buku, mengerjakan tugas dan lain-lain.Hal yang lain adalah tuntukan dari orang tua. Menjadi orang tua yang bijak harusnya mengenal putra-putrinya, apakah putra-putrinya suka belajar atau tidak. Kalau tidak suka belajar, hendaknya tidak usah dipaksa untuk melanjutkan kuliah di bangku S2. Salah-salah malah putra-putrinya menjadi generasi copy paste tugas.Apakah sebagai orang tua anda tidak merasa sedih jika putra-putri anda seperti itu.

Hal yang sebenarnya menjadi bahan renungan saya pribadi adalah bagaimana untuk lebih memahami orang lain. Terkadang bahkan orang yang mengalami peran hidup tersebut tak paham akan apa perilakunya namun kita dengan kepekaan kita bisa melihat dan mengambil hikmah dari suatu kejadian. Itulah pentingnya kita mengasah hati agar peka terhadap kejadian-kejadian yang untuk dimasa yang akan datang tidak boleh kita lakukan. Dalam satu group chatting ada salah satu teman yang meminta  seperti apa tugasnya untuk dijadikan pencerahan terhadap tugasnya karena belum mengerjakan. Bahkan sudah diingatkan kalau proffesor tersebut tidak boleh sama tugasnya. Maka sang teman merayu untuk tetap dikirimi email akan tugas itu. Dengan pesan "jangan dibuat sama ya". Dan "ya" jawaban si teman.

Kepekaan pertama adalah culture jawa. Orang jawa itu terkenal dengan subosito, unggah ungguh. Jika sudah dibilang profesor itu tidak boleh sama. Mestinya sebagai sama-sama orang jawa akan tidak melanjutkan permintaannya. Tapi ya seperti itu kejadiannya. Kepekaan hati menjadi mati lantaran ambisius untuk bisa mengumpulkan tugas tanpa mau mengerjakannya sendiri.Apa sih bedanya ambisi dan ambisius? Orang yang mempunyai ambisi jika menginginkan sesuatu dia akan berusaha tapi tetap melihat benar atau salah atau pantas atau tidak pantas akan langkah yang ia lakukan dalam mencapai tujuannya. Tapi ambisius itu seseorang yang mempunyai keinginan tertentu tapi segala cara baik itu pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan tetap menempuh cara-cara itu. Misalnya mahasiswa s2 punya ambisi untuk lulus s2 tapi caranya jika ada tugas itu mengerjakan sendiri, masuk kuliah maka itu wajar jika mahasiswa tersebut disebut berambisi untuk lulus S2. Namun bagi mahasiswa yang ambisius maka ia akan malas mengerjakan tugas maunya copy paste, datang kuliah juga malas maunya nitip absen, tapi ingin lulus S2 itu mahasiswa yang ambisius karena perilkaunya tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya. Semoga kita semua dijauhkan dari menjadi pribadi yang ambisius. Amiin YRA.

Hikmah yang lain adalah adanya percakapan dalam salah satu group chatting  yang intinya semua orang bagaimana mencapai tujuannya sendiri. Ada yang sibuk mencari tiket agar bisa pulang ke Semarang lantaran besok pagi diminta menghadap sang professor, ada yang dengan bangganya lantaran tidak termasuk dalam daftar yang ketahuan copy paste pada kenyataannya dia hanya mengubah beberapa bagian yang akhirnya sama-sama harus mengulang/merevisi tugas tersebut.Ah...kali ini sang professor berbaik hati. Para mahasiswa dipersilahkan untuk membuat revisi atas tugasnya kembali untuk besok dikumpulkan lagi. Itu juga sang professor dimaki-maki dalam group chatting  tersebut. Astaghfirullohaazdim ya saat ini seperti itu perilaku anak-anak muda kita. Maunya serba praktis dan kalau mau enak terus saja mintanya yang enak, gak mau susah. Lha wong dimarahi karena malas kok membalas mengumpat dosennya. Ya Robbi...jauhkan kita dari sifat-sifat yang tidak mau mengaca pada diri sendiri sebelum menghujat orang lain.

Ada lagi salah satu teman yang sepanjang perkuliahan mengomel lantaran tugasnya banyak di copy paste. Hikmahnya adalah waspada. Dan tak perlu marah-marah, jelaskan saja kepada Bpk professor apa yang terjadi, jika sudah tidak boleh ya sudah, kalau masih boleh ya buktinya bisa diberikan kesempatan revisi. Itu gunanya melobi dosen/professor. Jadi buang-buang waktu percuma untuk marah, misuh-misuh itu juga westing time. Bahkan untuk hal misuh-misuh ini juga tidak ada yang meminta maaf kepada anda atas kelakuan nya meng copy paste padahal jelas tidak untuk dicontek ketika diberikan tapi untuk pencerahan bahasanya teman-teman. Pencerahan itu dari hasil membaca tugas teman maka bisa membuat tugas yang mempunyai kerangka atau skema yang mirip,bukan copy paste comot sana sini jadi deh tugasnya dinamain namanya sendiri.

Ini tugas di kampus, nanti di dunia kerja juga ada model manusia seperti itu. Kerjaan teman sukannya diaku-aku kerjaannya dihadapan boss. Hati-hati terjebak pada kebiasaan praktis yang kalau tidak disadari bisa menjadi perilaku yang berulang dan menjadi karakter. Mulai latihannya ya dari saat ini juga, model peristiwanya ya skala kita mahasiswa. Kalau ada yang seperti itu istighfar bahkan tidak perlu menunggu mereka meminta maaf telah melakukan kesalahan, pasti juga sudah tidak merasa bersalah, Why? karena mungkin sudah menjadi kebiasaan polanya dari saat kuliah S1 dulu. Bahkan kita ketemu mereka juga sudah sama-sama setua ini maka waspadalah untuk tugas-tugas mendatang jika dirasa akan malah menjadi beban selanjutnya buat kita untuk mengulang tugas maka cukup kita, dosen dan Alloh saja yang tahu.

Last but Not Least  gelar S2 atau gelar apapun itu sebenarnya tidak penting ya untuk dikejar, maka yang benar adalah setialah pada yang benar, do the right think and Do The think right . Para calon mertua juga tidak perlu ambisius untuk mempunyai menantu yang lulusan S2 sehingga nanti dalam undangan pernikahannya bisa ditulis gelarnya. Para perempuan  juga bersikaplah biasa saja sama mahasiswa S2, jangan merasa keren jika punya pacar atau calon swami yang S2 karena belum tentu dia termasuk dalam kategori yang berambisi mendapatkan gelar S2, karena saat ini banyak lho yang ambisius untuk meraih gelar S2. Bahkan saat ini lulusan S2 itu sudah biasa sekali, karena sudah umum lulus S2, bukan hal yang istimewa.

Penyikapan terbaik terhadap kuliah S2 itu memang relatif bagi beberapa kalangan. Dulu ada kakak kelas saya pandai, tapi tidak ingin melanjutkan S2 saat para kakak kelas berbondong-bondong kuliah S2. Saat saya tanya kenapa tidak kuliah S2? Jawabnya "mendingan uangnya saya puter untuk yang lain Nop." Alasan lain selain jam kerjaannya yang padat di kantor yang kerap menyita waktu kakak kelasku itu. Lain lagi dengan sahabat saya dulu di kantor, dia cerdas, lulusan 3 besar terbaik di jurusan teknik sipil saat kuliah S1 di Universitas Indonesia, tapi juga tidak ingin melanjutkan S2, "S2 apa ya kalau ingin kuliah?" katanya...saat saya dan teman membicarakan aktifitas dikampusnya via handphone. Suatu hari sahabat saya berucap saya juga mau kuliah S2 saham. Karena dia sudah menikmati hasil dari investasi saham tentu saja. Begitulah sebenarnya cara menyikapi apakah mau kuliah S2 atau tidak. Sehingga dalam perjalanannya menjadikan kita sebagai mahasiswa yang punya ambisi untuk lulus menjadi bergelar magister dan bukanlah menjadi mahasiswa yang ambius saja. WollohualambiiShowab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...