Jumat, 28 Juni 2013

Salah Satu Tradisi Islam yang Kini Asing

Banyak sekali saat ini para motivator muda bermunculan, mulai dari memberikan pencerahaan dengan pendekatan inspirasi motivasi untuk menjadi lebih baik, ada yang dengan motivasi menjadi kaya dan lain sebagainya. Teringat saya akan pernyataan Dosen di Kampus Bpk. Erman Deny yang iseng memberikan cerita tentang posisi zaman saat ini. Menurut beliau saat ini jika zaman itu dibalik pada zaman masa lalu secara sejarah maka saat ini adalah masanya nabi Musa. Masa Nabi Musa ditandai dengan mulai jenuhnya manusia pada saat itu dengan keruwetan zaman. Zaman ketidakteraturan tanpa aturan, sebebas-bebasnya manusia menjalankan hidup, bahkan boleh dibilang tidak mau diatur bahkan lebih tepat tanpa aturan. Posisi zaman saat itu pada kondisi manusia mulai galau dan akan menemukan titik jenuh akan hal itu. 

Maka tak heran jika profesi yang sangat menjanjikan pada masa saat ini adalah menjadi motivator atau menjadi ustadz/ustadzah. Belum lekang ingatan kita akan kepergian almarhum Ustadz Jefri Al bukhori alias UJE beberapa waktu lalu. Begitu banyak masyarakat yang turut berbela sungkawa dan mendoakan bahkan ribuan manusia mengantarkan jenazah beliau ke peristirahatan terakhir beliau. Ini menunjukkan kecintaan masyarakat akan sosok UJE yang telah memberikan pencerahan bagi mereka dalam hal ruhiyah/agama. 

Terkait dengan motivator sebenarnya yang akan saya bahas adalah mengenai salah satu motivator yang sering sekali memberikan trainingnya dan membahas dalam karya-karya tulisan Beliau dalm beberapa seri buku. Saya belum pernah mengikuti seminar atau traininya, namun mengikuti ceramahnya melalui stasiunTV swasta sudah sering. Biasanya sore hari menjelang berbuka puasa. Ternyata bukan cuma saya yang mengkritik motivator muda tersebut, beberapa waktu lalu ternyata sahabat saya Shinta dalam blognya KataShinta.Blogspot.com atau@KataShinta pun mengkritiknya. Saat itu yang Shinta Kritik adalah mengenai konsep LoA VS Doa (Low of Attraction Vs Do'a dalam tradisi Islam). 

Beberapa hari lalu saya berbincang dengan Ibu Dyah guru ngaji saya tentang motivator yang not always right ini, tentang pandangan beliau sebagai ustadzah dan sering mengisi seminar di forum-forum nasional untuk berbagai kalangan termasuk kaum cerdik pandai. Beliau menyatakan, kalau yang mengikuti seminar atau trainingnya sudah paham agama (dalam hal ini islam) yang benar maka itu tidak akan menjadi masalah. Namun jika yang mengikuti trainingnya dan membaca buku-bukunya belum mengerti dan memahami Islam maka itu akan menjadi kurang tepat. Bu dyah menyebutkan bahwa Mr. Not Always Right  itu sering menyitir ayat al qur'an, bahkan saya juga sering melihat twitternya saat sedang nge-tweet dengan ayat-ayat al qur'an atau hadist terkait dengan menjadi kaya.

Ayat-ayat Al qur'an itu ketika diwahyukan ada asbabun-nuzulnya (sebab-sebab) turunnya ayat, sebaiknya Mr. Not Always Right itu belajar juga tentang tafsir qur'an atau tafsir hadust jika akan menyitir/menggunakan ayat dakam memotivasi. Itu saran saya. Kenapa demikian. Karena banyak generasi yang lebih senior dalam usia si Mr yang paham tentang ilmu tafsir baik al qur'an maupun tafsir Hadist yang juga mengikuti sepak terjang Si Mr. Hanya saja kadang mereka tidak punya ruang untuk menyampaikannya kepada Mr itu. Karena perbedaan kebiasaan pola hidup yakni suka ngeetwit dan tidak suka nanrsis dalam twitter. 

Beberapa waktu lalu saya juga melihat salah satu twitter Bpk Zaim Saidi, yang menurut saya juga representasi ustadz yang lebih senior namun ber twitter ria. Beliau menyindir Si Mr Not always Right  dengan tweetnya kira-kira begini : " Lha Rezeki itu sudah ada yang ngatur kok dijadikan obsesi..".Hanya saja menurut saya Mr Not Always Right nggak ngeh disindir demikian, mungkin karena memang tidak melihat twitternya Ustadz Zaim Saidi atau memang melihat toh tidak sadar juga kalau itu berupa sindiran. Makanya saya menulis ini semoga Mr Not Always Right membaca tulisan saya, dan mau belajar Islam lagi agar dalam motivasi para traineenya yang kebanyakan anak-anak muda negeri ini tambah baik dan benar maka akan memunculkan keberkahan. Amiin.

Mengapa demikian? Karena memang dalam tradisi Islam Hidup itu tidak harus kaya. "Kata siapa hidup Itu harus kaya? itu kata Mr Not Always Right aja...". Hidup itu berbuat baik, menyampaikan hal baik atau bahasa beratnya berdakwah. Bahkan berdakwah itu dengan segenap harta, jiwa dan raga. Itu yang ideal. Saya tidak menyalahkan Mr Not Always Right lho....hanya menyampaikan yang ideal hidup menurut Islam. Kalaupun masih pada tataran level jiwa seperti itu juga boleh. Sekali lagi itu tidak salah!.Kaya raya banyak sedekah maka bermanfaat untuk sesama. Lantas kalau belum kaya raya belum bisa bermanfaat untuk sesama? itu pertanyaan lanjutannya. Bermanfaat untuk sesama itu tidak musti dengan harta benda kita. Bisa dengan waktu kita yang kita sedekahkan bahkan senyum kita juga sedekah. Subhanalloh bukan?

Beberapa waktu lalu saya sempet ngobrol sama teman saya yang termasuk rajin mengikuti seminarnya Mr Not Always Right. Saya tanya begini : Kenapa ya kamu kok bisa sedemikian rupa semangat sekali ingin menjadi kaya raya? syukur-syukur bisa kaya raya di usia muda sebelum usia 30 tahun yang ia inginkan. Teman saya menjawab begini ;"mbak saya tidak pernah susah hidupnya, berada dalam kondisi berkecukupan sehingga wajar jika saya ingin hidup berkecukupan juga kedepannya dan bisa membantu sesama."." Good mulia sekali tujuan hidupnya." bisik kata dalam batinku. Lantas kenapa saya punya jiwa yang lain? saya sukanya mengabdi. saya coba buka wacana baru yang berbeda dengan kondisi jalan hidupnya. Bahkan saya katakan : "saya bahkan tidak kepingin jadi orang kaya. " Lantas apakah analoginya karena saya belum pernah jadi orang kaya maka saya tidak kepingin menjadi orang kaya?. Nah Loh....Saat itu saya menambahkan "tapi saya pengennya punya swami kaya....wkwkwkwkwkw...(Lha...sami mawon)

Seiring berjalannya waktu saya mencari juga tentang jiwa pengabdian itu seperti apa? dan alhamdulillah sudah melihat contohnya di depan mata. Yakni orang-orang yang masuk kategori menjadi orang asing/aneh pada kehidupan yang serba materialistik seperti saat ini. Bukan masalah asing/anehnya namun memang seperti yang dikatakan dalam sebuah hadist yang menyebutkan sebagai berikut : "Pada awalnya Islam itu asing dan Islam akan kembali asing sebagaimana pada awalnya. Sungguh beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR Muslim no 389 dari Abu Hurairah). Anehnya/asingnya dimana?. Saya sendiri juga termasuk dibilang aneh saat ini sama teman saya. Saya sangat santai terhadap harta, ada ya dinikmati tidak ada ya tidak apa-apa yang penting cukup. Dan saya masih punya waktu terus untuk bisa mengabdi, buat saya itu yang terpenting. Dan itu membuat saya happy. Tutup perkara.

Bagi teman saya tentu aneh, baginya sukses ya punya mobil, punya rumah, punya tabungan, reksadana, saham dan berbagai portofolio investasi yang lain. Kadang saya berusaha memaklumi kondisi yang umum ada dengan mengatakan "mungkin karena teman saya itu laki-laki." bahkan barangkali kalau saya ini laki-laki maka akan bermindset seperti itu dalam hidup. Ada rasa takut nanti ketika telah berkeluarga maka tidak bisa mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak maka malah akan mendzolimi orang lain bukan malah membahagiakan orang-orang yang ia cintai. Buat saya awalnya itu sangat masuk akal. Dan berpikir seperti itu juga mulia.

Namun beberapa hari lalu saya melihat potret swami istri yang dua-duanya bermindset mengabdi dalam hidup ini. Bahkan kekayaan harta bukanlah yang utama dalam hidup mereka maka berdakwah, berkontribusi untuk umat adalah konsen hidup mereka (memikirkan akhirat). Maka benar di depan mataku nampak dicukupkan hidupnya akan kehidupan dunianya. Meskipun tidak mewah namun mereka bisa menikmati dunia meskipun tidak memilikinya. Sepasang swami -istri yang hidup dalam kesyukuran dan kemanfaatan bagi ummat yang subhanalloh itu keren menurut saya. Bahkan gaji sang swami sebagai anggota dewan di pusat yang kita sama-sma tahu bisa membawa pulang Rp.50 juta juga habis tiap bulan untuk dibagikan kepada masyarakat lantaran tiap hari ada yang meminta. Akhirnya dengan nada bertanya si swami bertanya :"siapa lagi mie yang belum kebagian? aku akan berpuasa...". Sungguh Aku menangis menuliskan ini. Benar-benar asing.

Jleb ya melihat prototype pasangan swami-isteri seperti itu. Lewel jiwa yang subhanalloh tinggi sudah berhasil mereka raih. Bahkan sudah bisa seperti Nabi Muhammad tauladan kita dalam hal ini. Rosululloh terlihat sedih ketika pada malam hari masih punya sisa kurma atau makanan yang lain di rumahnya, Beliau berfikir umatku disana pasti ada yang tidak bisa makan, maka Rosululloh akan mencarinya dan membagikan makanan yang masih ada pada malam itu. Sedangkan untuk esok hari bagaimana? Besok ada rezeki untuk besok. Untuk zaman ini benar-benar tidak masuk akal dan logika manusia pada umumnya. Terkait dengan masa depan dalm pandangan Islam. Saya teringat cerita dari pendiri Dompet Dhuafa Bapak Eri Sudewo saat memberikan training ZEDP, Beliau menceritakan saat mewawancarai ustadz Bobby Heriwibowo (yang saat ini terkenal dengan nama ustadz Bobby) yang sedang melamar untuk menjadi sekretarisnya Pak Eri. Ustadz Bobby yang lulusan Al Azhar Cairo ditanya "apa menurut anda tentang masa depan?", Ustadz Bobby menjawab dalam Islam yang ada adalah saat ini dan hari kemarin (yang telah berlalu), mengenai besok saja belum tentu kita ini masih ada/ bernyawa. 

Ya Robbi....bagaimana rasanya sudah bisa menikmati kehidupan dalam level jiwa seperti itu. Sungguh sangat ingin. Dan banyak sekali yang harus dibenahi, mulai dari mindset, kesolihahan diri, merubah selera...ya Robbi tunjukkanlah jalanMU dan mudahkanlah untuk menghempaskan belenggu-belenggu duniawi yang kerap kali menghalangi kita dalam bergerak karena hanya engkau yang bisa menjadikan hamba ini 'asing dan mencapai level jiwa pengabdian seperti mereka yang telah lebih dulu mencapaiNYA. Kenapa harus seprti itu, yup pasti karena ingin meraih jannahNYA saja.Wollohualam Biishowab.




1 komentar:

  1. begitulah bilseba pemahaman hidup tidak totalias berislam. dalam islam kekayaan harta itu untuk perjuangan di jalan Allah. Perniagaan yang menguntungkan tidak mesti menjadi penghambat untuk menginfakkannya. Malah cendrung kegiatan tersebut menjadi ladang bisnis.

    Semoga tersadarkan tentang makna untuk apa harta Allah titipkan buat beliau.

    BalasHapus

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...