Selasa, 02 Juli 2013

Problem di Indonesia (Filantropi)

Dalam konteks yang luas, tidaklah berbeda dari masyarakat dan negara kapitalis, keadaan di Indonesia sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menunjukkan kecenderungan yang sama. Filantropi didorong, dan dikembangkan, sebagai konsekwensi dari diadopsinya kapitalisme sebagai ideologi dan praksis bernegara dan bermasyarakat. Republik Indonesia merupakan negara fiskal sejak 'merdeka' secara politikpada tahun 1945,tetapi selama lebih dari 60 tahun 'merdeka' telah gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Dengan satu-dua indikator saja sudah terlihhat bahwa masyarakat di Indonesia saat ini masih menderita. Junlah orang miskin ada 40 juta bahkan jika indikator yang dipakai adalh pendapatan di bawah US$ 2 per hari, sebagaimana dipakai oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), angkanya mencapai 75 juta. Tingkat pengangguran (awal 2007) sekitar 11%, sekitar 11 juta orang.

Dari analisisyang telah diuraikan letak persoalannya bukanlah pada ketidakmampuan dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara, tetapi berada dalam sistem yang kita pilih itu sendiri, yaitu kapitalisme. Tanpa "krismon"pun, pemiskinan massal akan terus-menerus sebagai bagian inherent darisistem ini. Bahkan negara yang terkenal sebagai walefare state, dimana negara fiskal berperan pokok dalm memeratakan kesejahteraan, sesungguhnya merupakan format sempurnaKapitalisme, untuk memastikan warga negaranya sebagai debitur ang ditransformasikan sebagai pembayar pajak secara progresif dan sangat tidal adil itu. Sperti telah dijelaskan sebelumnya, pengenaan pajak  dalam negara fiskal merupakan keniscayaan karena konsepsi utang publik, yang semakin lama semakin membengkak tak terkendali, karena riba.

Karena itu, pada tataran paling elementer, pencapaian kesejahteraan yang menjadi argumentasi Kapitalisme adalah semu belaka, bila siukur dengan beban riil yang ditanggung oleh warga negara dalam bentuk pemajakan, baik yang langsung (PBB),PPh,PPn, dan seterusnya) tapi lebih-lebih akibat pemajakan tidak langsung dalam bentuk depresiasi nilai tukar (purchasing power) dari sistem uang kertas dan bank sentral. Dolar AS misalnya, yang dianggap sebagai standar mata uang internasional telah kehilangan sekurangnya 95% nilainya dalm kurun 35 tahun terakhir. Mata uang rupiah, sebagai contoh lain, telah kehilangan sekitar 99% nilainya, dalam kurun 60an tahun sejak Indonesia 'merdeka".

Ketika kekuasaan kolonialisme secara Formal meninggalkan bangsa Indonesia ada dua hal yang meninggalkannya, melalui konstitusi republik baru ini, bank sentral dan uang kertas, pilar negara fiskal. Dan dengan itu, bangsa Indonesia mendapatkan warisan beban utang pemerintah Hindia Belanda, sebesar 4 miliar dolar AS, yang kelak 60 tahun kemudian telah beranak pinak tak terkendali karena sistem riba yang dikenakannya, menjadi sekitar 140-an miliar dolar AS. Bangsa AS, sebelum menganut sistem bank sentral, tidak memiliki utang publik. Sejak berdirinya federal reserved AS, suatu perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Citibank dan Chase Manhattan Bank, bangsa Amerika terus berutang kepada mereka. Sebelum konggres AS mengesahkan federal reserved  ini,1913, utang nasional AS pada federal reserved adalah 4 Tririun dolar AS (Mullins,1991). Utang inipun, tentu saja ditransformasikan kepada rakyat AS dalm bentuk penarikan pajak. 

Sementara itu di sisi lain tradisi masyarakat Indonesia dalam bersedekah, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai studi dalam satu dekade ini, makin berkembang (Bumualim et, al,2005;Prihatna dan kurniawati, 2005). Jumlah orang yang bersedekah dan nilai sedekahnya terus membesar. Lembaga-lembaga yang mengelola dan bergerak di bidang kedermawanan sosialpun semakin banyak. Tentu, segmen yang dikenal sebagai "filantropi perusahaan", pun dalam berbagai ragam bentuk Corporate social responsibility (CSR), juga semakin significan (Saidi,et,al 2002, Ibrahim,2005, Nursahid, 2006)

Dengan latar belakang dan perkembangan sosial kekinian kita harus secara tepat memberikan dukungan kepada upaya -upaya perubahan sosial yang signifikan, menuju kepada keadilan sosial. Pada saat yang sama, kita juga harus mendukung upaya-upaya menghentikan, atau setidaknya mengurangi, sumber-sumber ketidakadilan. Tanpa upayakedua ini, mobilisasi kedermawanan sosial, tidak akan memberikan dampak positif apapun. Bahkan, sebaliknya, melakukannya dengan format yang salah justru akan melestarikan sistem yang tidak adil tersebut. 

Kesimpulan.

Filantropi adalah limpahan dari Kapitalisme. Peranutamanya memberikan legitimasi bagi berlangsungnya sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang ini, sekaligus memberikan keuntungan ganda. Pertama, memberinya wajah manusiawi pada sistem yang memungkinkan penguasaan kekayaan pada segelintir orng ini dengan mengembalikan sebagian darinya kepada kaum papa. Kedua, memberikan peluang para pelakunya, para kapitalis cum Filantropis, untuk mendapatkan keuntungan finansial lebih besar lagi, melalui dua hal : 1) strategi pemasaran humanis yang oleh Nickel Eikenberry (2007) disebut sebagai consumption philantrophy atau oleh pakar pemasaran Philip Kotler sebagai "cause related marketing";(2)kemungkinan  mendapatkan pengurangan atau keringanan pembayaran pajak dari negara fiskal,tempatnya hidup.

Fenomena sosial baru yang kini dikenal sebagai CSR, sebagaimana disinggung di atas, meski tidak dipungkiri adanya motivasi pengembangan good citizenship, dimotivasi terutama selain karenaprofit seeking adalah karena kebijakan publik yang 'memaksa",tapi sekaligus mendukung filantropi. Sebuah survei yang dilakukan oleh Public Research and Advocacy Center (2002) menunjukkan 37% perusahaan yang disurvei menyatakan akan menaikkan anggaran CSRnya bila mendapatkan pengurangan pajak.

Kapitalisme, dan karenanya Filantropi, merupakan praktik yang tidak ada dalm tradisi Islam. Islam memiliki model penciptaan dan pemerataan kekayaan yang unik, melalui muamalat, yang berfondasi pokok pada pencegahan penumpukan kekayaan pada segelintir orang, serta mekanisme pemerataannya yang terintegrasi di dalamnya, melalui bentuk kontrak-kontrak bisnis, serta pengelolaan infrastruktur sosial yang khas (wakaf dan zakat, dan sedekah lainnya). Lima pilar pokok muamalat, yang kini telah hilang dari masyarakat, dan memerlukan upaya restorasi adalah mata uang berbasis komoditi (dinar/dirham), penyelenggaraan pasar-pasar terbuka untuk umum, pengembangan unit-unit produksi otonom, gilda-gilda, serta promosi kaum pedagang kolektif melalui delegasi karavan dan kabilah. 

Restorasimuamalat akan menjadi model yang lebih tepat bagi masyarakat Indonesia dengan dibandingkan dengan filantropi. Restorasi muamalat tidak berarti kembali kepada kondisi dan situasi abad pertengahan, tetapimenempatkannya dalam konteks kekinian. Pasar terbuka tidak berarti mengembalikan pasar-pasar tradisional yang sumpek dan kumuh, tetapi pasar-pasar dengan sarana niaga yang memadai, pergudangan, perparkiran,sarana komunikasi modern,layaknya mall dan hypermarket. tetapi terbuka sebagai milik umum. Membangun kembali karavan tidak lalu menghidupkan kabilah-kabilah beronta, tetapi delegasi-delegasi pedagang, dengan kapal-kapal dagang, atau sekurangnya peti kemas bergerak, yang bisa berpindah dari satu pasar terbuka ke pasar terbuka lainnya. Dan pemakaian kembali dinar dirham akan dengan sangat nyaman bersanding teknologi modern untuk payment system mesin ATM,debit cards dan sejenisnya.

Restorasi muamalat merupakan pilihan yang seharusnya diambil kaum Muslimin, sekaligus sebagai langkah koreksi atas tindakan sementara kaum Muslimin yang lain, yang alih-alih memilih model orisinal yang dimiliki Islam. Muamalat justru mengislamisasi Kapitalisme. Islamisasi Kapitalisme dengan salah satu ujung rantingnya pada Filantropi Islam, hanya akan berujung pada pemapanan dan legitimasi Kapitalisme belaka.

*Diambil dari Jurnal Galang vol.2. No.3 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...