Senin, 24 Desember 2012

Habibi dan Ainun

Sebelum menonton, saya sudah berekspektasi baik terhadap Reza Rahardian. Aktor satu ini memang jago banget dalam beracting, wajar saja kalau Pak Habibi memberikan predikat summa cum laude kepada Reza Rahardian dalam perannya sebagai Habibi dalam film ini. Yup...saya juga kagum melihat Reza, teringat peran-perannya yang lain di berbagai film yang pernah ia lakoni. Mulai dari menjadi ayah Delissa dalam Hafalan Sholat Delissa, Menjadi saingan Adipati Dolken dalam Perahu kertas, dan kini menjadi Bapak Habibi dalam Habibi dan Ainun. Kadang jadi berpikir, lantas seperti apa ya aslinya Reza dalam kesehariannya? Wollohu alam, yang pasti aktor yang satu ini hanya mau dinilai dari karyanya saja, jauh dari gosip dan Reza tak punya akun twitter maupun facebook. 

Saya berikan nilai 8,5 saja buat Reza. Why? saat Pak Habibi sepuh (ada sedikit ubannya) Reza kurang pantas memerankan sosok Habibi. Terlihat saat adegan Pak Habibi bersama kedua Putranya Ilham dan Tharik menunggu ibu Ainun di Rumah sakit Munchen, secara postur terlihat mereka sebaya, hanya alis dan sedikit rambut Reza dibuat putih saja. Tapi tetep dapat nilai A buat Reza. Hanya saja sempet terdengar beberapa kali celetukan di Bioskop berteriak Mr.Bin....hehehe jadi bikin saya tertawa kecil, bukankah memang begitu gesture Pak Habibi  ?

BCL...memang dari awal juga saya kurang setuju sama Mas Hanung, kok BCL yang memerankan Bu Ainun. Yah namanya juga Mas Hanung ya? Malah temen saya pernah nulis di wall FB saya, jika Bu Ainun itu berhijab maka yang menjadi pemeran Bu Ainun pastilah Saskia Mecka...hahaha sorry mas Hanung. Kenapa kecewa? Tugas Aktris hanya memerankan saja, nilailah dari bagaimana BCL memerankan sosok Ibu Ainun, kira-kira demikian jawaban Mas Hanung kalau saya protes sama dia. Masalahnya bagi yang sudah membaca bukunya, Bu Ainun itu selain cerdas juga sosok religius, meskipun belum berhijab.BCL saya kasih nilai 7 saja. Bu Ainun  terlalu ceria menurut saya ketika ditemukan oleh Pak Habibi saat menjahit di ruang makan. Menurut saya bu Ainun itu berwibawa, tidak banyak senyum seperti itu. Saat Bu Ainun sakit, aslinya beliau itu kurus sekali dan nampak gering. BCL terlihat tembem pipinya meskipun dia juga belum lama lulus berdiet menurunkan 25 kg berat badanya setelah melahirkan anak pertamanya. Mustinya bisa dibuat make up yang terkesan bahwa Bu Ainun itu kurus jika memang kondisi BCL masih nampak tembem. So.. BCL mendapatkan nilai B saja dari saya.

Membaca bukunya memang lebih kaya dan imajinatif. Jelas film dibatasi oleh durasi sehingga tidak semua apa yang ada di bukunya bisa difilmkan. Namun hal yang membuat saya kurang dalam film ini tentang bagaimana Pak Habibi mendirikan ICMI. Buat saya yang muslim dan masih salut dengan terobosan-terobosan yang dibuat oleh ICMI diawal generasi yang dipimpin oleh Bapak Habibi harusnya ini diangkat. Bayangkan saja awal berdirinya Bank Syariah pertama di Indonesia, awal adanya media Islam yang saat itu sempat membuat raja koran di negeri ini kebakaran jenggot. Itu sumbang sih yang luar biasa buat rakyat muslim di Indonesia. Bukan hanya itu, momentum berdirinya ICMI jika digambarkan dalam film bisa jadi meluruskan sejarah yang simpang siur. Saya pernah membaca ulasan dari salah satu pakar politik dari salah satu Universitas yang termuat dalam artikel pada salah satu harian. Menyebutkan bahwa Pak Habibi sengaja dibuatkan bingkai oleh Presiden Soeharto sebagai tokoh Islam dalam gerbong ICMI. Padahal melalui buku Habibi dan Ainun, Bapak Habibi selaku penulis buku tersebut, mengisahkan awal mula berdirinya ICMI adalah ide dari para aktivis di UNIBROW, bukanlah ide atau political will Presiden Soeharto.

Sosok Religius Ibu Ainun hanya muncul saat ibu sakit, ketika melaksanakn sholat berjamaah bersama keluarga, meskipun dalam kondisi sakit. Sebenarnya ini perlu dan menarik untuk diangkat. Saat ini ramai tersebar rumor oleh akun provokator Trio Macan 2000 bahwa klenik adalah salah satu tradisi yang ternyata masih melekat dalam tampuk kekuasaan. Bu Ainun tilawah sehari satu juz, dan melakukan puasa sunah senin kamis, ini bagus untuk diangkat. Bahwa seorang ibu negara mempunyai tradisi religius melaksanakan ritual - ritual keagamaan yang lurus bukan memuja kepada Nyai roro kidul dan lain sebagainya. 

Bu Ainun dalam film ini, dispesifikkan dalam mendampingi Bapak Habibi saja, bagaimana Ibu selalu menyediakan obat-obatan untuk Bapak Habibi, bagaimana ibu cerewet untuk mengingatkan Bapak untuk istirahat, bagaimana Ibu menjadi istri Bapak dikala hidup susah diawal Ibu dan Bapak tinggal di Jerman. Itu saja, padahal bagi kaum wanita, Bu Ainun itu lebih dari itu. Selain berdedikasi mensupport swami, beliau juga aktif dalam Bank Mata dan beberapa yayasan. Buat saya Bu Ainun itu Cetar Membahana Badai Khatulistiwa Cucok Morokocodot jika meminjam istilahnya Syahrini.

Tissue sudah saya siapkan. Ternyata saya tidak menangis, namun sebelah saya menangis. Dan saya juga melihat banyak para penonton yang keluar bioskop dengan mata sembab seperti setelah menangis. Masing-masing pribadi memang punya kecenderungan sensifitas terhadap hal-hal yang berbeda. Buat saya pribadi, saya bisa menangis hingga 5 kali ketika menonton film Emak Ingin Naik Haji. Untuk film-film Indonesia saya lebih mudah tersentuh oleh hal-hal tentang kemiskinan. Saya menyukai film drama, sehingga saya sudah terbiasa melihat film-film yang so sweet tentang kisah cinta antara dua orang kekasih atau swami istri, menurut saya memang masih drama korea - drama korea yang lebih unggul dalam membuat saya tersentuh hingga akhirnya menangis.

Selamat kepada perfilman Indonesia. Senang melihat Bioskop ramai oleh keluarga. Mereka datang berbondong-bondoong untuk menyaksikan Habibi dan Ainun. Bahkan ada yang mengajak nenek- nenek mereka. Salut.... Bahwa Bioskop saat ini tidak hanya menjadi tempat pasangan kesasih untuk menjadi salah satu alternatif tempat pacaran, namun sudah bisa menjadikan wahana rekreasi keluarga yang dapat menambah value lain dalam perenungan hidup atau sekedar alternatif tempat hiburan semata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...