Rabu, 12 Desember 2012

KUA Swasta,Mungkinkah?

Tingginya angka perceraian pasangan swami istri saat ini di Indonesia, saya rasa sangat memprihatinkan. Misalnya saja di wilayah  Jakarta Selatan . Pengadilan Agama Jakarta Selatan melaporkan di websitenya ada 2022 istri gugat cerai suami selama tahun 2011. Ditambah dengan data periode Januari sampai awal Juni 2012  sebanyak 985, sehingga menjadi 3007 istri gugat cerai suami selama periode tersebut.
Tingginya angka gugat cerai istri terhadap suami ditambah dengan kasus cerai talak, telah menyumbang angka perceraian di Jak-Sel cukup tinggi yaitu  4261 kasus selama periode tahun 2011-bulan Juni 2012. (Sumber Kompasiana).

Hal ini menamba ke-ill feel an saya tentang kinerja Kantor Urusan Agama. Beberapa waktu lalu, saat saya masih bekerja di Tabung Wakaf Indonesia - Dompet Dhuafa. Saya berkesempatan bersilaturrahim ke KUA Ciputat untuk kepengurusan akad wakaf. Saya menunggu antrian panjang. Lantaran untuk kepengurusan wakaf dan nikah disatukan. Ini salah satu hal yang patut diperbaiki. Disana terlihat pasangan-pasangan calon pengantin yang mengantri untuk melaksanakan training pra nikah. Training dilakukan oleh staff KUA. Nampak para peserta training tak bersemangat untuk mengikuti training tersebut. Malah ada yang hanya membayar saja dan melewatkan sesi training pra nikah.

Dengan melihat data contoh di Jakarta Selatan tadi, nampak kemampuan hakim dalam mendamaikan kasus perceraian lemah. Masih dari data kompasiana dari sejumlah kasus diatas yang berhasil dimediasi oleh hakim hanya 41 kasus saja. Sekelumit pemaparan saya ini bisa dijadikan gambaran ranah pekerjaan Kantor Urusan Agama itu mencakup pembinaan pra nikah, proses nikah (penghulu), dan pasca menikah. Yang saat ini terlihat hanyalah jika pasangan swami istri akan bercerai saja. Namun sebaiknya training pasca menikahpun idealnya diberikan bagi para pasangan yang telah menikah.

Jika kemajuan suatu bangsa dapat dindikasikan dari kwalitas keluarga dari masyarakat maka peran dan fungsi KUA sangatlah penting. Saya bercerita dengan mantan direktur saya di TWI - Dompet Dhuafa Mas Veldy Armyta  tentang kegelisahan saya, melihat KUA yang saya kebetulan berurusan kok seperti itu managementnya. Saya rasa ini juga berlaku bagi KUA - KUA yang lain di Indonesia. Mas veldy lantas menyampaikan idenya secara spontan "Bagaimana kalo bikin KUA Swasta?" .Idealnya KUA adalah institusi pemerintah, namun apa salahnya jika dari akar rumput mempunyai ide tentang management KUA yang baik. Dalam bayangan saya, KUA adalah pusat sekolah keluarga. Jadi bukan hanya membayar biaya akad lantas bubar jalan tanpa hal-hal berbekas apapun bagi sang mempelai.

KUA swasta nanti akan seperti Lembaga zakat, lembaga wakaf, biro perjalanan haji yang banyak dikelola oleh swasta. Hingga nanti pada suatu masa pemerintah kita pandang mampu untuk menanganinya sendiri dengan benar dan bisa dipertanggungjawabkan kepada Alloh. Mempunyai KUA yang berkwalitas adalah langkah penting dalam menciptakan keluarga yang bahagia bagi keluarga di Indonesia. Ini merupakan salah satu langkah dalam mencetak mental bangsa yang saat ini tak tergarap. Dalam bayangan saya, KUA akan diisi oleh para trainer dan team trainer handal tentang parenting, keluarga, peran ayah, peran ibu dan lain sebagainya. Training yang diselenggarakan bukanlah training yang membosankan, namun diisi oleh trainer-trainer terkenal negeri ini, misalnya Mario Teguh, Zae Hanan dan lain sebagainya.

Menjadikan training di KUA menarik dan diminati adalah hal yang musti diupayakan, sehingga training yang ada bermanfaat bukan hanya formalitas belaka. Training-training ini akan berkesinambungan. Dimulai dari training pra nikah, kemudian pasca nikah maupun training pengasuhan anak. Pengasuhan anak tidak hanya domain bagi sang ibu saja, melainkan ayah juga harus diberikan training parenting. Training - training ini nantinya akan menjadi guidens bagi para pasangan dalam menjalani bahtera rumah tangganya dan mendidik anak. Perlahan - lahan jika hal impian saya ini terwujud, pelan-pelan kita benahi tentang pola bekerja. Misalnya kebijakan tidak perlu adanya karyawan kerja lembur dan lain sebagainya untuk membentuk pola hidup yang sesuai dengan karakter yang dicita-citakan bangsa ini. Negara kita harus punya karakter. Janganlah macet dan perceraian yang menjadi karakter. Di negara-negara yang lain juga mempunyai kebijakan - kebijakan yang mengatur pola hidup bangsanya, misalnya canada yang meniadakan lembur bagi karyawan. Sehingga para ayah bisa pulang untuk bermain dan berkomunikasi lebih banyak dengan istri dan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...