Jumat, 23 Januari 2015

Muhammad Natsir

Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lemah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Ia adalah perdana menteri kelima Repulik Indonesia (RI) yang mempunyai gelar Datuk Sinaro Panjang. Ia juga pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan salah satu tokoh Islam terkemuka Indonesia. Sebagaimana riset dan analisis Dwi Zain, pada masa kecilnya, Natsir belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rosul. Selanjutnya pada 1923 – 1927, Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO). Ia kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) Bandung, hingga tamat pada 1930.

Saat di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional, antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Sutan Sjahrir. Pada 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hasan untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Dengan keunggulan ilmu spiritual, Natsir anyak menulis mengenai agama, kebudayaan dan pendidikan. Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang aktif. Ia memiliki banyak pengalaman organisasi, seperti menjadi wakil ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Conggress), Ketua Dewan Masjid se-Dunia, Anggota Dewan Eksekutif Rabhithah Alam Islamy yang berpusat di Makah, dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Karier politik Natsir dimulai pda 5 April 1950, saat ia mengajukan mosi integral dalam sidang pleno parlemen. Mosi ini berhasil memulihkan keutuhan bangsa, sehingga Soekarno mengangkat Natsir menjadi perdana menteri karena prestasinya. Soekarno percaya bahwa Natsir mempunyai konsep untuk menyelamatkan RI melalui konstitusi. Sayangnya, posisi Natsir seagai perdana menteri tidak berlangsung lama. Ia mendapat penolakan dan perlawanan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Terhitung sebanyak dua kali, anggota PNI di parlemen membaikot sidang sehingga sidang tidak memenuhi kuorum. Akhirnya, Natsir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri.

Selama menjabat sebagai menteri penerangan sebanyak tiga kali, dan menjabat sebagai perdana menteri, kehidupan keluarga Natsir tidak banyak berubah. Rumahnya tetap sederhana dan pintunya teruka kepada siapapun yang ingin bersilaturahim. Sikap Natsir ini sangat bertolak belakang dengan orang-orang yang sekarang mengaku tokoh umat, yang setelah menjadi pejabat negara atau pejabat partai bisa mendadak kaya raya. Padahal, mereka tidak mempunyai usaha lain kecuali pejabat partai. Hal ini seperti sebuah hal yang sangat biasa dan bukan rahasia. Jika bekerja di partai politik, apapun ideologinya, tidak jauh – jauh dari jual beli suara sehingga rakyat banyak menganggap bahwa para elite politik sesungguhnya tidak berbeda dengan para pedagang. Mereka menjadikan suara rakyat sebagai barang dagangan dengan memberikan janji-janji manis, dan secepatnya melupakan semua itu ketika sudah berkuasa. Natsir jelas bukan tokoh umat yang seperti ini.

Salah satu peristiwa yang tidak mungkin dilupakan adalah pertemuan antara Natsir dengan Prabowo Subiyanto yang saat itu telah menjadi perwira. Sebagaimana diberitakan Rizky Ridyasmara, iklim politik Indonesia sejak tahun 1988 telah mulai kondusif agi dakwah Islam. Suatu hari, Prabowo, yang saat itu masih menantu presiden Soeharto, diiringi sejumlah perwira muslim akan bersilaturrahim ke kediaman Natsir di Jalan H.O.S Cokroaminoto, Jakarta. Natsir yang telah tua menunggu di dalam kamarnya. Sebelum masuk ke dalam rumah, Prabowo menyempatkan diri untuk melepas arloji dan cincin emasnya, lalu dititipkan ke ajudannya. Hal ini dilakukan karena ia tahu bahwa Natsir adalah seseorang yang sangat memegang erat kesederhanaan sehingga Prabowopun sangat menghormatinya.

Natsir memang tidak mempunyai istana, tetapi orang – orang istana sering mendatanginya. Malah, Natsir tidak mampu membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya dilalui dengan pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Pada 1956 ia telah berhenti menjadi perdana menteri, Natsir menjabat sebagai pemimpin Partai Masyumi. Ia ditawari mobil oleh seseorang dari Medan, yakni Chevrolet Impala. Sebuah mobil “wah” sudah di parkir di depan rumahnya. Namun Natsir menolak. Padahal, saat itu ia hanya memiliki moil kusam merek DeSoto. Sebelumnya, setelah masa jabatan sebagai perdana menteri habis, Natsir meninggalkan kantor kementrian untuk pulang menuju rumah dengan mengayuh sepeda. Mobil dinasnya langsung diserahkan saat itu juga kepada negara.

*Dikutip dari buku “Kebiasaan Sehari – hari Para Guru Bangsa” karangan Agus Nur Cahyo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...