Jumat, 09 Januari 2015

Syafrudin Prawiranegara

Syafrudin Prawiranegara lahir di Banten,28 Februari 1911. Ia adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat  sebagai ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat itu, pemerintahan RI di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Sewaktu masih kecil, Syafrudin akrab dipanggil kuding. Ia merupakan keturunan Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat perang Paderi. Kemudian,Sutan Alam Intan menikah dengan putri bangsawan Banten, sehingga lahirlah kakeknya dan memiliki anak yang bernama R.Arsyad Prawiraadmajda. Itulah ayah Syafrudin yang bekerja sebagai jaksa dan dikenal dekat dengan rakyat. R.Arsyad dibung Belanda ke Jawa Timur.

Sebagai diberitakan VOA Islam, Syafrudin yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Cruesoe, memiliki cita-cita tinggi. "ingin menjadi orangbesar" itulah alasannya masuk sekolah tinggi hukum (sekarang Fakultas HukumUniversitas Indonesia) Jakarta. Saat Belanda melakukan Agresi Militer II di Indonesia, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 di jam enam pagi, Belanda telah memulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr.Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk pemerintahan darurat. Telegram tersebut tidak sampai ke Bukit Tinggi karena sulitnya sistem komunikasi saat itu. Namun, bersamaan dengan mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pemimpin pemerintahan RI, pada 19 Desember sore hari, Syafrudin segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapatdi sebuah rumah dekatNgarai Sianok, Bukittinggi, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency goverment).

Gubernur Sumatra Mr. T.M Hasan menyetujui usul itu. 'Demi menyelamatkan Negara RI yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara,ucapnya. PDRI dijuluki sebagai "penyelamat republik". Dengan mengambil lokasi di daerah Sumatera Barat, pemerintahan RI masih tetap eksis, meskipun para pemimpin Indonesia telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Kabinet Syafrudin dalam PDRI terdiri atas beberapa menteri. Meskipun istilah yang digunakan saat itu adalah "ketua", tetapi kedudukannya sama dengan presiden. Syafrudin menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno pada 13Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi RI sebagai bangsa yang sedang mempertahankan kemerdekaan. Setelah itu, Syafrudin terlibat dalm pemerintahan dengan menjabat sebagai Menteri keuangan.

Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam kabinet Hatta, Syafruddin melaksanakan pengguntingan uang dari nilai 5 rupiah ke atas sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan "gunting syafrudin". Akibat ketidakpuasa terhadap pemerintah pusat yang disebabkan ketimpangan-ketimpangan sosial dan pengaruh komunis (terutama Partai Komunis Indonesia-PKI) yang semakin menguat, pada awal 1958 Syafrudin dan beberapa tokoh lainnya mendirikan pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berbasis di Sumatera Tengah. Syafrudin ditunjuk sebagai ketuanya. Kemudian setelah bertahun-tahun berkarier di dunia politik, Syafrudin akhirnya memilih jalur dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Namun, berulang kali mantantokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Pada juni 1985, ia diperiksa sehubungan isi khotbahnya pada hari Raya Idul Fitri 1404H di Masjid Al'Araf Tanjung Priok Jakarta. Di tengah kesibukan sebagai mubaligh, mantan gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku sejarah Moneter dengan bantuan Oe Beng To, direktur utama lembaga keuangan Indonesia.

Syafrudin sebelumnya pernah berkarie sebagai Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940), Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), Pegawai Departemen Keuangan Jepang, Anggota Badan Pekerja KNIP (1945), Wakil kemakmuran (1947), Perdana Menteri RI (1948), Presiden Pemerintah Darurat RI (1948), Wakil Perdana Menteri RI(1949), Menteri Keuangan (1949-1950), Gubernur Bank Sentral / Bank Indonesia (1951), Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan dan Pembangunan Manajemen (PPM)(1958),Pemimpin Masyumi (1960), Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978), serta sebagai ketua Korp Mubaligh Indonesia (1984-1989) sampai  hayatnya Safruddin meninggal pada 15 Febrari 1989 dan dimakamlan di Tanah  Kusir Jakarta Selatan.

Hidup Sederhana.

"Ayahmu Menteri Keuangan Icah,"Lily menyeka matanya yang basah. "usi uang negara Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli gurita bagi adikmu, khalid, yang baru lahir. Kalau ibu tidak alami sendiri kejadrian goda meitu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong gurita.  Kalimat tersebut merupakan ucapan yang disampaikan Tengku Halimah atau biasa dipanggil Lily, istri Syafruddin Prawiranegara yang dikutip dari lembar pertama buku Preside Prawiranegara, yang ditulis Akmal Nasery Basral. Pada bagian lain,Akmal juga menuliskan bahwa jumlah harta Syafruddin lebih sedikit setelah menjadi Menteri Keuangan dan tinggal di Yogyakarta dibandingkan saat menjabat Inspektur pajak di Kediri. Saat itu, menjadi menteri kabinet memang masih berkonotasi berjuang langsung ke dalam perjuangan nyata. Bukan simbol memasuki lingkaran elite dunia kapitalisme yang didominasi kuasa uang, kendaraan supermewah, serta beragam fasilitas kelas utama lainnya. Jadi, hidup dalam keadaan kekurangan di dalam keluarga Syafruddin sudah menjadi biasa. Bahkan untuk membeli gurita untuk anaknyapun tak bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...