Selasa, 12 Maret 2013

Ketinggalan Momentum

Ada hal yang bisa kita amati dan perbaiki bersama. Berawal dari salah satu dosen saya yang mungkin beliau tidak begitu tertarik dengan Ekonomi Syariah. Komentar dosen saya tentang bank syariah, knapa mesti dicantumkan juga bunganya. Memang ungkapan ini ambigu. Hingga saya yakin tidak semua mahasiswanyapun paham akan apa yang dikomentarkan oleh dosen tersebut. Hingga suatu saat ada teman saya yang bertanya, apa memang demikian? Saya menjawab mungkin yang dimaksudkan adalah ekuivalen rate dengan bunga sekian persen. Ekuivalen rate dicantumkan untuk menyasar segmen pasar rasional. Segmen ini memang terdiri dari masyarakat yang rasional dalam berinvestasi di Bank. Ia akan membandingkan berapa bagi hasil yang akan diberikan oleh salah satu bank syariah dan membandingkannya dengan berapa bunga bank pada bank konvensional. Segmen pasar rasional memang demikian perilakunya, siapa yang secara rasional memberikan keuntungan baik dalam bentuk bagi hasil atau bunga yang lebih besar yang akan ia pilih.

Berbeda dengan segmen pasar bank syariah emosional.Segmen ini memilih berinvestasi di bank syariah lantaran hal emosional yaitu karena kaidah ketaatan terhadap ajaran agamanya. Maka ketika berinvestasi pada bank syariah segmen pasar emosional tidak akan begitu memperhatikan istilah ekuivalen rate dengan bunga bank. Satu segmen bank syariah adalah mereka yang anti dengan bank syariah. Segmen ini memang tidak membuka diri terhadap bank syariah dengan alasan tertentu, mungkin hal emosional dalam keyakinannya. Well....yang ingin saya resapi bukanlah pengkretirean segmen pasar bank syariah. Namun kepada kesedihan saya atas pernyataan salah satu dosen saya tersebut. Sebagai seorang dosen hendaknya bisa memposisikan diri netral terhadap ilmu. Bahkan ilmu yang baru sekalipun, meskipun mungkin itu berbeda sumber keyakinan dengannya.

Perkembangan industri syariah yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank syariah saat ini dan mulai menggeliatnya komponen makro dalam ekonomi syariah yakni ZISWAF, hendaknya disambut positif di dunia akademisi. Dosen saya masih mempermasalahkan ada apa dengan ekuivalen rate, padahal dunia ekonomi syariah tingkat internasional sudah berkembang pesat. Negeri ini sering ketinggalan momentum mungkin karena perilaku seperti salah satu dosen saya ini. Bukan malah mempelajari ilmu baru namun langsung mengkritik dengan komentar-komentarnya. Mungkin juga saya masih berperilaku seperti itu. Saya jadi ikut mengevaluasi diri saya sendiri. Jangan-jangan saya juga masih sama seperti Beliau. Atau jangan-jangan memang seperti itu potret kebanyakan orang masyarakat Indonesia. Senang berkomentar tanpa meneliti terlebih dahulu kebenarannya, mengumpulkan informasi terlebih dahulu baru berkomentar. Atau sebaiknya tak perlu berkomentar jika memang komentarnya tak mempunyai dampak bagi kebaikan.

Maka mereka yang responsif dan mau mencari tahu adalah yang lebih maju, karena ia berhasil membaca situasi (menggunakan momentum dengan tepat). Misalnya saja dosen-dosen di UI, IPB, UNAIR, UGM yang sudah berani membuka d3, s2 Ekonomi syariah dan S1 Ekonomi syariah. Untuk s1 Ekonomi syariah pertama kali di SNPTN kan di UI tahun ini. Mereka berjuang di kampusnya, belajar ke IIUM Malaysia yang dekat atau yang jauh di Durham University di Inggris. Mengikuti kompetisi riset-riset Ekonomi syaraiah tingkat Internasional dan terus mensupport Industri perbankan dan institusi syariah yang lain dengan mencetak praktisi-praktisi syariahnya. Ini salah satu contoh membaca peluang (momentum) sehingga mampu menjawab tantangan zaman dalam hal ini ilmu ekonomi syariah untuk menyiapkan praktisi-praktisi bisnis syariah. (Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, ZISWAF).

Dalam sebuah prbincangan makan siang dengan salah satu teman saya di Muamalat Institute dulu, kami membicarakan kenapa ada ekonomi syariah. Apakah ini bermuatan politis (kepentingan) ? Jawabnya tentu saja ini masalah kepentingan. Era maraknya ekonomi syariah dunia ditandai dengan tragedi WTC (9/11). Setelah tragedi tersebut, para investor timur tengah yang berinvestasi di Amerika menarik investasinya. Maka negara yang mampu memanfaatkan peluang (Momentum) ia yang akan mendulang untung dan berhasil menjadi negara tujuan investasi para investor Timur Tengah. Maka di Eropa yang kebanjiran investasi dari para investor Timur Tengah. Ekonomi syariah mulai dilirik dan digandrungi. Bahkan mulai diajarkan di perguruan tinggi. Durham University di Inggris yang mengajarkan Ilmu tersebut. Durham beraviliasi dengan Harvard University Amerika. Negara yang mampu menjawab peluang dengan cepat / responsif di asia tenggara adalah negara tetangga kita Malaysia. Maka IIUM disana mengajarkan ekonomi syariah yang awalnya dijadikan pilot project oleh IDB.

Negara kita ketinggalan momentum lagi. Maka yang berhasil menyerap dana-dana timur tengah di Asia ya memang Malaysia. Skema-skema syariah seperti sukuk (obligasi syariah) lebih dahulu ada di Malaysia. Namun secara kualitas perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia lebih dekat dengan syariah.Kenapa kita sering kehilangan momentum sebagai bangsa? Dalam analisa kecil saya, karena sikap kita yang belum tepat dalam menyikapi hal baru. Misalnya berita atau ilmu yang baru. Seperti Ekonomi Syariah saat ini, masih saja menjadi perdebatan di negeri ini akan keberadaanya, padahal negara yang lain sudah sibuk mendulang investor-investor luar negeri untuk mendapatkan dana segar bagi pembangunan yang hanya mau bertransaksi dengan skema syariah yaitu para investor-investor timur tengah.

Itulah kenapa kita sebaiknya bersama-sama berintrospeksi, saya menuliskan ini untuk diri saya sendiri yang memang suka berkomentar juga. Hal-hal baru baik berupa informasi atau ilmu baru, cerna terlebih dahulu. Jika perlu berkomentar maka komentarlah yang membangun/yang bermanfaat sehingga kita mampu memahami situasi dan tidak ketinggalan momentum - momentum penting. Karena dengan memperbaiki perilaku kita selaku individu maka perlahan akan terbentuk perubahan perilaku komunitas / komunal. Memang harus mulai dari diri sendiri dan saat ini juga. Wollohualam Bishowab...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...