Senin, 18 Maret 2013

Puteri Indonesia Sebenarnya

Mengenalmu di Jakarta waktu itu. Kamu masih mahasiswa di sekolah ekonomi bisnis Islam di Sebelah kantorku berada. Hingga suatu saat kita mengenal lantaran kamu bekerja sambil kuliah di Masyarakat Ekonomi Syariah (MES Pusat) menjadi anak buah temanku. Saat itu memang jujur saja masih lupa-lupa ingat siapa ya kamu, yang ramah, suka manggil-manggil saya kalau saya lewat depan kampusmu untuk  rapat di Kantor pusat Dompet Dhuafa Ciputat. Yup...Namamu Yuni. Nama yang terbilang nama jawa dan umum. Lantaran Yuni dilahirkan di Solo di Mojogedang kampung kebanggaannya.

Berawal beberapa bulan lalu ada teman lama di Jakarta yang mengirimkan bbm akan bersilaturrahim dan liburan  ke Purwokerto bersama Yuni. Yang Ia tahu saya pulang ke Purwokerto selepas resign dari Jakarta. Memang sejenak saya singgah di Purwokerto tempat kakak saya bertempat tinggal. Kemudian saya melanjutkan hidup saya di Semarang. Saat bbm teman saya Hikmah (nama teman saya) saya terima. Saya sudah berada di Semarang. Lantas saya tawarkan untuk berlibur saja ke Semarang, karena saya saat itu sudah di Semarang. Praktis posisi Yunipun saat itu masih di Jakarta.

Beberapa miggu lalu saya melihat status bbm Yuni sudah di Solo. Saya pastikan lewat bbm pula apa benar dia sudah pulang kampung? Ternyata benar. Alhamdulillah weekend kemarin skedulnya match dengan skedul Yuni, meskipun tidak full lantaran Yuni ada aktifitas kantor hari Minggu. Dalam kondisi saya yang kurang bersemangat sepertinya memang tepat bersilaturrahim kepada teman saya ini. Minimal memunculkan semangat lagi. Bagaimana bisa Yuni yang dulu waktu di Jakarta seringnya bertemu di Mall, tempat makan enak di Jakarta. Sekarang bisa hidup ala kampung kebanggaannya di Mojogedang.

Yuni adalah anak terakhir dari keluarga Ciptono ( Semoga saya tidak salah ingat dengan nama Bapak Yuni). Pak Ciptono memang bertekad untuk menyekolahkan putra-putrinya hingga sampai sekolah Tinggi (universitas). Bahkan Beliau membeli sepeda motor setelah semua putra-putrinya lulus kuliah / menyelesaikan pendidikannya. Kampung Mojogedang berada empat puluh kilometer dari kota solo. Berada dilereng gunung lawu. Saat menyusuri jalanan meuju rumah Yuni, saya merasa sudah pernah lewat jalan itu. Ternyata benar, dari pemaparan Yuni, jalan itu menuju Tawang Mangu. Tepat!, saya pernah ke Tawang Mangu tahun 2003 saat ada acara Temu Ilmiah Regional JATENG FoSSEI. Acaranya sendiri dilakukan di kampus UNS dan fild trip ke Tawang Mangu.

Hamparan sawah menghijau sepanjang jalan, berbagai macam tanaman mulai dari padi, tebu, cabai, tales dan berbagai macam buah-buahan dihasilkan disana mulai dari pisang, rambutan, durian. Setelah memasuki perkampungan nampak kebun-kebun yang subur tanahnya dengan tanaman singkong, cabai, jahe disekitar pekarangan rumah. Subhanalloh karuniaMU ya Robbi....Bukan hanya itu, air yang digunakan untuk mandi dan keperluan sehari-hari juga berasal dari mata air gunung lawu yang dialirkan ke masing- masing rumah, sehingga tidak perlu menggunakan air dari PDAM.

Bercakap-cakap dengan Ayah Yuni nampak enak sekali dalam berbahasa, bahkan saya merasa nyaman saat berbicara dengan aksen solo dan sekitarnya. Jauh jika dibandingkan dengan logat berbicaranya orang Semarang terkesan keras meskipun sama-sama Jawa Tengah. Maklum lantaran Semarang lebih dekat dengan pantai barang kali, yang mungkin lebih kasar dalam berbahasa karena kerasnya kehidupan pantai, itu jika kita mau menganalisanya dari keterkaitan letak geografis dengan budaya. Nampak dari pemaparan Ayah Yuni bahwa Beliau membebaskan putera-puterinya untuk jadi apa saja sesuka mereka. Bahkan juga tidak mengharuskan putra-putrinya untuk tinggal di kampung tempat mereka dilahirkan dan tumbuh.

Adalah Ibu Yuni yang telah mewasiatkan kepada putri terakhirnya ini untuk ada yang tetap tinggal dirumah itu, memberikan inspirasi bagi warga kampung yang memang kondisi kampung itu belum terwarnai oleh pendidikan. Dalam satu kampung yang berkisar lima puluh KK ternyata keluarga Yuni saja yang putra-putrinya mengenyam dunia pendidikan / kuliah di perguruan Tinggi/ Universitas. Biasanya warga kampung lulus SD atau SMP kemudian menikah. Maka kini warga kampung bisa melihat bahwa pendidikan itu penting. Terus menjadi Inspirasi warga kampung adalah impian Ibu Yuni. well....saat ini sudah tercapai.

Bahkan Yuni tidak hanya menginspiirasi warga kampung Mojo Gedang tapi menginspirasi anak-anak muda negeri ini, termasuk saya. Semangatnya luar biasa, kecintaan terhadap kampung halamanya luar biasa. Two tump up buat Yuni. Bagaimana tidak? Yuni setelah lulus kuliah bergabung dengan salah satu bank Syariah (BUMN) besar di Indonesia. Jabatannya bukan seperti mahasiswa yang baru lulus, tapi langsung menjadi sekretaris direksi pada bank tersebut. Bisa dibayangkan seorang sekretaris direksi ya pasti cantik, cekatan dan berbagai kriteria seorang sekretaris ia penuhi. Dengan posisinya ia juga sudah mempunyai asisten. Dalam kariernya ia sangat diberkahi. Tapi pilihan hidup untuk kembali mengabdi dan menginspirasi warga kampung Mojo Gedang ternyata mampu mengalahkan apa yang ia punya, relasi yang luas, gaji yang bagus, gaya hidup executive muda syari'ah Jakarta.

Pulang kampung bagi yuni adalah potong gaji limapuluh persen, memulai karier dari nol sebagai AO pada cabang salah satu bank syariah di Solo (masih pada Bank syariah yang sama dengan saat Yuni menjadi sekretaris Direksi di Jakarta dulu). Hingga seperti itu. Dan keinginan Yuni saat ini adalah kursus menjahit dan memberdayakan para ibu di kampungnya. Bercocok tanam sepertinya baka Yuni yang diwariskan oleh keluarganya. Jika hari libur tiba Yuni bersama Ayahnya ke sawah atau kebun, menyiangi tanaman (matun), membawa hasil-hasil kebun dari sawah dibawa pulang kerumah. Hasil kebun itu dipersilahkan kepada warga kampung jika menginginkannya diberikan dengan gratis. Jika masih ada sisa barulah hasil kebun tersebut dijual.

Nampak heran, ternyata Yuni nampak lebih berisi di kampung. Ternyata karena merasa tenteram di kampung. Mau makan beras hasil panen sendiri, mau buah-buahan hasil kebun sudah ada. Mau sayur-sayuran atau bumbu-bumbu tetangga sudah memberi dengan barter dengan buah-buahan yang dihasilkan oleh Ayah dan Yuni dari kebunnya. Mau mikir apa lagi? yah mix sense. Jadi malu sendiri saya, apa yang sudah saya beri bagi kampungku? Pertanyaan yang saya sendiri juga masih malas untuk menjawabnya. Bagi beberapa teman wanita saya yang berasal dari luar Jawa, bahkan ia kepingin sekali bersuamikan Mas-Mas (laki-laki jawa) biar bisa hidup di Jawa, karena di luar Jawa tidak seperti di Jawa fasilitas publiknya. Mungkin juga masyarakatnya belum seperti di Jawa. Tapi tidak terlintas bagi mereka untuk kembali ke kampung halaman untuk membangun dan menjadi inspirasi di kampungnya sana diluar jawa.

Jika melihat apa yang dipilih Yuni, pulang kampung dan menginspirasi warga kampung, maka sebaiknya perempuan-perempuan seperti Yuni inilah yang layak diberi gelar puteri Indonesia. Bukan putri-putri hasil audisi yang dikompetisikan yang setelah lulus dari kompetisi memilih profesi sebagai artis dan lupa bahwa ia  pernah menjadi putri Indonesia. Terima kasih Robb, KAU pertemukan hamba dengan orang-orang pilihanmu dalam langkanya anak-anak muda negeri ini yang masih bersemangat membangun negeri, mencintai negerinya dengan tulus. Tanpa embel-embel pengakuan dari siapapun, atau harus disorot kamera media. Lakukan saja dengan ikhlas. Alloh yang akan membalas semuanya. Ammin Ya Robb...Teringat saya twiit uni Fahira Idris beberapa hari lalu, kira-kira berkata bahwa tidak perlu anak-anak yang sangat cerdas untuk membangun negeri ini, namun anak-anak dengan kecerdasan rata-rata tapi memiliki idealisme untuk membangun negeri ini, maka negeri ini akan besar dimasa depan. Wollohu'alam bishowab....



 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...