Week end kali ini lumayan mendapatkan tambahan satu hari libur
yakni hari Jumat. Hari Jum’at merupakan hari libur karena tanggal merah, bagi
umat kristiani merupakan hari Paskah. Alhamdulillah bisa bersilaturrahim ke
Kudus rumah sahabatku dilahirkan dan tumbuh. Bertemu Haji Jabir, Bapaknya
Nungski membuat saya mudah mencerna sederhananya manusia menjalani hidup.
Terkadang teori hidup yang diajarkan di beberapa forum seperti jipeng
(pengajian kuping) serasa mengawang-awang saja. Seperti konsep Qonaah (ikhlas
atas apa yang Alloh berikan), tawakkal (pasrah akan apa yang Alloh tetapkan). Mendengar kisah hidup Haji Jabir dari
isterinya adalah menyederhanakan bagaimana Qonaah dan indahnya jika kita
bertawakkal. Cerita apa sebenarnya ?
Berawal dari penglihatan saya
tentang beberpa mobil tronton di halaman rumah dan samping rumah Nungski,
yup...Haji Jabir ayah Nungski mempunyia usaha bengkel mobil-mobil tronton dan truk.
Belum lama rupanya berbisnis bengkel
ini. Menurut penuturan Ibunya Nungski berbisnis buat keluarga mereka sudah
menjadi jalan hidup yang dipilih oleh Haji Jabir. Sebelum menjadi pebisnis,
ternyata haji jabir berprofesi sebagai sopir yang biasa berkendara hingga
keluar pulau jawa. Maka nama Jabir adalah panggilan Haji Syafi’i yang merupakan
nama asli/sebenarnya dari Haji Jabir. Berbekal relasi pertemanan saat menjadi
sopir maka bisnis bengkel mobil tronton dan truk ini dapat berjalan hingga saat
ini mampu mempekerjakan enam montir.
Saat putra-putri Haji Jabir masih
kecil-kecil (anak-anak) sebenarnya juga sudah mencukupi untuk ukuran hidup di
kampung Dawe di lereng gunung Muria Kudus. Kampung Dawe dan Gunung Muria
terbilang dekat, hanya menempuh waktu kurang – lebih setengah jam perjalanan
dengan motor dengan kecepatan sedang. Namun keinginan untuk memberikan bekal
ilmu yang baik bagi putra-putri Haji Jabir adalah alasannya untuk memulai
bisnis. Berawal dari menjadi cabang salah satu perusahaan expedisi yang
berpusat di Jakarta dan hingga saat ini bisnis itupun masih berjalan. Kemudian
berbisnis khas kudus yaitu rokok. Untuk bisnis rokok sebenarnya produknya dapat
diterima diluar pulau jawa, meskipun ada juga yang dipasarkan di daerah Jawa
Barat yang pelosok. Kendalanya adalah tentang pembayaran dari para sales
marketingnya yang tidak lancar, hingga hutangpun menumpuk dan Haji Jabir
menderita kebangkrutan.
Saat bangkrut mobil keluargapun
dijual, tentu saja setelah minta ijin putra-putri termasuk Nungski. Tugas
seorang Ibu dimasa seperti itu sangat berat, bagaimana menjaga perasaan
putra-putri untuk tetap bertahan dengan kondisi yang ada. Memastikan agar
putra-putrinya tidak minder dengan teman-temannya lantaran biasanya dalam
kondisi berada (kecukupan). Hal yang dirasakan juga banyak teman-teman Haji Jabir yang menjauh disaat
terpuruk/bangkrut. Hingga datanglah rezeki yang belum seberapa, maka digunakan
untuk membeli mobil untuk usaha rental mobil, sekaligus bisa dipakai keluarga
saat membutuhkan. Hingga lagi-lagi keluarga ini diuji. Mobil yang direntalkan
dibawa oleh sopir dan tak kembali hingga beberapa bulan. Sebagai seorang
perempuan Ibu Nungski pasti sering menggerutu dan mengomel kepada Haji Jabir,
kenapa mobilnya tak kunjung kembali ke garasi rumahnya. Jawaban Haji jabir
adalah:”iki ndonyane’ gusti Alloh, nak
meh njaluk mobil yo njaluko maring Alloh, Nek pancen rejekine dhuwe mobil yo
bakal bali mobile, yen ora rezekine yo rak mbalik...”
Itulah statement Tawakkal kepada Alloh SWT, hingga suatu saat ada polisi
yang menghubungi rumah. Mobil yang dibawa kabur oleh sopir ternyata atas nama
Nungski. Mobil tersebut menabrak orang atau entah menabrak apa dan ditinggal
ditengah jalan. Hingga polisi mencurigai mobil yang parkir berhari-hari dijalan
itu. Sampainya mobil dirumah, mobil tersebut ternyata masih guarantee sehingga bisa diganti dengan
yang baru. Sesimple itulah Tawakkal,
maka akan berbuah manis diakhirnya. Saya sampaikan itu simple namun bagi yang menjalaninya, seperti ibunya Nungski tentu
saja butuh effort yang besar dalam
menjalaninya.
Melihat skala usaha Haji Jabir
maka bisnis ini belum besar sekali namun cukup dan sepertinya berlebih untuk
keluarga Nungski. Yang saya cermati adalah Haji Jabir merintis usaha satu
persatu, mantain sendiri sehingga tidak
ekspansif membuka usaha-usaha baru. Untuk bengkel tronton dan truk inipun Haji
Jabir bertugas sebagai marketingnya. Nampak pula Haji Jabir turun ke bengkel
untuk mengecek pengelasan dan lain-lain. Benar-benar passioned, memang harus demikian saya rasa lantaran bengkel
merupakan bisnis services. Menyikapi
keberhasilan bisnisnya saat ini, Ibunya Nungski dengan rendah hati menamakan
itu semua adalah rezekinya anak-anak, saat anak-anak butuh biaya pendidikan ya
diberilah oleh Alloh untuk itu. Itulah Qonaah. Saat dulu menjadi istri seorang
sopir Ibu Nungski bersyukur dengan rezeki yang ada, saat ini saat menjadi
isteri pebisnis bengkel tronton dan trukpun tetap rendah hati, bahkan itu semua
adalah rezekinya anak-anak yang diberikan Alloh SWT lewat mereka Haji Jabir dan
Isteri. Itulah Qonaah. Selalu bisa bersyukur dan merasa cukup tentang keadaan
apapun yang diberikan oleh Alloh SWT.
Selain bersilaturrahim ke rumah
Nungski, saya dan beberapa teman juga berkesempatan mengunjungi air terjun
Monthel di kaki gunung Muria. Hari itu adalah hari Jum’at. Banyak sekali
rombongan-rombongan peziarah ke Makam sunan gunung Muria. Mereka menggunakan
bus-bus antar provinsi dan banyak pula yang mengendarai kendaraan pribadi.
Tradisi ziarah kubur ke makam-makan para wali memang merupakan pemandangan yang
tak asing di Kudus dan sekitarnya dan sepertinya ini umum di tanah jawa. Tak
hanya di Jawa Tengah saja namun juga di Jawa Timur dan mungkin Jawa Barat.
Bahkan dari Jakarta juga marak rombongan-rombongan zarah kubur kemakam-makam keturunan
Rosululloh SAW generasi kesekian dan sebagainya. Ada apa sebenarnya? Dasarnya
apa mereka berziarah?
Menurut juru kunci makam syech
Abu bakar dan penjaga kamar mandi di pulau Panjang yang sempat kami kunjungi
pada hari sabtu. Tradisi ziarah kubur berasal dari gendhingnya salah satu sunan
yang saat ini kita tahu lagu itu dipopulerkan oleh opik Tombo ati. Pada perkara
kelima tombo ati disebutkan dengan “wong kang soleh kumpulono” /berkumpullah
dengan orang sholeh. Makam-makam yang didatangi adalah figur-figur orang-orang
sholeh yang jasadnya telah terkubur. Namun rohnya masih ada dialam lain dan
mereka itu mampu melihat kita di dunia, hanya saja tidak dapat berkomunikasi.
Maka melalui perantara berdoa inilah media yang tersampaikan untuk memaknai berkumpul
dengan orang-orang sholeh. Para peziarah datang, mengaji, bersolawat dan
mendoakan itu saja. Menurut saya tradisi itu masih tak menjadi menyimpang dari
tradisi Islam. Boleh-boleh saja namun jika sudah ditambahi dengan klenik,
meminta-minta pada roh-roh halus di makam itu yang menurut saya tidak boleh.
Mengapa tradisi ziarah kubur
masih ada saat ini, dan penganut tradisi ini biasanya dari level menengah
kebawah menurut pengamatan saya. Tradisi ziarah kubur yang biasanya dilakukan
di bukit-bukit seperti di Gunung Muria atau
pulau-pulau yang jauh dari lingkungan penduduk, seperti di Pulau Panjang, yang
harus ditempuh selama kurang - lebih lima belas menit dari pantai kartini
Jepara. Merupakan proses pengajaran dari para wali yang belum sempurana dalam
ajarannya. Ini bagi ziarah kubur yang merupakan tradisi yang berakar pada sunan
atau para wali di Jawa. Para wali mengajarkan Islam dengan perlahan-lahan
kepada masyarakat. Saat itu masyarakat kita sangat kental dengan tradisi
animisme (menyembah roh-roh halus) dan dinamisme. Nah proses pengalihan yang
belum sempurna terjadi ketika merubah proses tradisi animisme dan dinamisme
dalam tradisi Islam ( menyembah Alloh SWT). Pola yang ada dalam masyrakat akan
dialihkan esensinya dari menyembah roh-roh halus menjadi mendoakan arwah sunan
dan bersholawat dan membaca al-qur’an. Maka esensi ketauhidan (keesaan) Alloh
sudah tercapai. Hanya saja proses kelanjutan dakwah/ pendidikan para wali ini
terputus generasinya. Sehingga belum paripurna penyampaian ketuhidan (keesaan
Alloh) serta bagaimana tradisi Islam
terhadap yang sudah dikuburkan.
Maka hingga saat ini tradisi
ziarah kubur masih menjadi ritual penting bagi mereka yang memahami Islam
melalui Nahdhatul Ulama (NU). Wrga Nahdhiyin memang berbasis tradisional dan
memang menyasar segmen menengah kebawah. Sehingga tradisi ziarah kubur juga
masih tumbuh subur dalam kalangan Nahdhiyin. Beberapa waktu lalu, media
mengabarkan bahwa uang infak pengunjung makan Gus Dur di Jawa Timur saja bisa
menghasilkan Rp.2 Milyar selama satu tahun. Jadi bisa kita lihat betapa
suburnya tradisi ziarah kubur di kalangan Nahdhiyin. Tentu berbeda dengan warga
yang memahami Islam dengan tradisi Muhammadiyah. Muhammadiyah lebih terbukla
dan menyasar segmentasi berpendidikan sehingga proses belum paripurnanya dakwah
para wali bisa dilanjutkan dengan terus berupaya memodernkan Islam yang memang
dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka bagi warga Muhammadiyah
berziarah kubur bukanlah tradisi yang yang digandrungi. Mendoakan arwah bisa
dilakukan dari rumah, tidak harus berziarah ke makamnya.
Saya menyebutkan dua ormas besar
NU dan Muhammadiyah karena memang kedua ormas tersebut besar di Indonesia.
Namun saat ini marak sekali peziarah yang bukan dari warga Nahdhiyin, namun
dari pengajian-pengajian yang diadakan oleh habib-habiab. Fenomena tumbuh
suburnya ustadz dengan genre habib-habib saat ini juga merupakan fenomena
pergerakan tradisi Islam. Di Jakarta
massanya besar sekali, hingga sering menjadikan kemacetan yang panjang jika
genre pengajian Habib-habib ini sedang berlangsung. Mereka juga mengadakan
ziarah ke makam-makam habib-habiab atau syech-syech yang jika dirunut merupakan
turunan Rosululloh kesekian. Semakin rumit dan mundur menurut saya dakwahnya
para wali/sunan. Harusnya kita lanjutkan pencerahan para wali dalam dakwahnya,
jangan malah mundur atau stagnan pada pencapaian dakwahnya genre para wali
dengan wajah tradisi berbeda misalnya NU dan genre Habib-Habib. Wollohualam Bishowab....
Itulah sekilas pandangan saya
mengamati perjalanan silaturrahim saya bersama beberapa teman ke rumah Nungski
dan perjalanan liburan ke air terjun Monthel di kaki gunung Muria Kudus dan ke
Pantai Kartini dan Pulau Panjang.
Sebelum kembali ke Semarang, kami tak mau melewatkan kuliner khas Kudus
Garang Asem. Menyenangkan dan harapannya fresh
untuk besok masuk kuliah lagi. Terima kasih Nungski dan teman-teman, di
lain kesempatan semoga kita bisa berlibur bersama kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar