Senin, 01 April 2013

Sekapur Sirih Silaturrahim dan Liburan


Week end kali ini lumayan mendapatkan tambahan satu hari libur yakni hari Jumat. Hari Jum’at merupakan hari libur karena tanggal merah, bagi umat kristiani merupakan hari Paskah. Alhamdulillah bisa bersilaturrahim ke Kudus rumah sahabatku dilahirkan dan tumbuh. Bertemu Haji Jabir, Bapaknya Nungski membuat saya mudah mencerna sederhananya manusia menjalani hidup. Terkadang teori hidup yang diajarkan di beberapa forum seperti jipeng (pengajian kuping) serasa mengawang-awang saja. Seperti konsep Qonaah (ikhlas atas apa yang Alloh berikan), tawakkal (pasrah akan apa yang Alloh tetapkan).  Mendengar kisah hidup Haji Jabir dari isterinya adalah menyederhanakan bagaimana Qonaah dan indahnya jika kita bertawakkal. Cerita apa sebenarnya ? 

Berawal dari penglihatan saya tentang beberpa mobil tronton di halaman rumah dan samping rumah Nungski, yup...Haji Jabir ayah Nungski mempunyia usaha bengkel mobil-mobil tronton dan truk. Belum  lama rupanya berbisnis bengkel ini. Menurut penuturan Ibunya Nungski berbisnis buat keluarga mereka sudah menjadi jalan hidup yang dipilih oleh Haji Jabir. Sebelum menjadi pebisnis, ternyata haji jabir berprofesi sebagai sopir yang biasa berkendara hingga keluar pulau jawa. Maka nama Jabir adalah panggilan Haji Syafi’i yang merupakan nama asli/sebenarnya dari Haji Jabir. Berbekal relasi pertemanan saat menjadi sopir maka bisnis bengkel mobil tronton dan truk ini dapat berjalan hingga saat ini mampu mempekerjakan enam montir.

Saat putra-putri Haji Jabir masih kecil-kecil (anak-anak) sebenarnya juga sudah mencukupi untuk ukuran hidup di kampung Dawe di lereng gunung Muria Kudus. Kampung Dawe dan Gunung Muria terbilang dekat, hanya menempuh waktu kurang – lebih setengah jam perjalanan dengan motor dengan kecepatan sedang. Namun keinginan untuk memberikan bekal ilmu yang baik bagi putra-putri Haji Jabir adalah alasannya untuk memulai bisnis. Berawal dari menjadi cabang salah satu perusahaan expedisi yang berpusat di Jakarta dan hingga saat ini bisnis itupun masih berjalan. Kemudian berbisnis khas kudus yaitu rokok. Untuk bisnis rokok sebenarnya produknya dapat diterima diluar pulau jawa, meskipun ada juga yang dipasarkan di daerah Jawa Barat yang pelosok. Kendalanya adalah tentang pembayaran dari para sales marketingnya yang tidak lancar, hingga hutangpun menumpuk dan Haji Jabir menderita kebangkrutan.

Saat bangkrut mobil keluargapun dijual, tentu saja setelah minta ijin putra-putri termasuk Nungski. Tugas seorang Ibu dimasa seperti itu sangat berat, bagaimana menjaga perasaan putra-putri untuk tetap bertahan dengan kondisi yang ada. Memastikan agar putra-putrinya tidak minder dengan teman-temannya lantaran biasanya dalam kondisi berada (kecukupan). Hal yang dirasakan juga banyak teman-teman  Haji Jabir yang menjauh disaat terpuruk/bangkrut. Hingga datanglah rezeki yang belum seberapa, maka digunakan untuk membeli mobil untuk usaha rental mobil, sekaligus bisa dipakai keluarga saat membutuhkan. Hingga lagi-lagi keluarga ini diuji. Mobil yang direntalkan dibawa oleh sopir dan tak kembali hingga beberapa bulan. Sebagai seorang perempuan Ibu Nungski pasti sering menggerutu dan mengomel kepada Haji Jabir, kenapa mobilnya tak kunjung kembali ke garasi rumahnya. Jawaban Haji jabir adalah:”iki ndonyane’ gusti Alloh, nak meh njaluk mobil yo njaluko maring Alloh, Nek pancen rejekine dhuwe mobil yo bakal bali mobile, yen ora rezekine yo rak mbalik...”

Itulah statement Tawakkal kepada Alloh SWT, hingga suatu saat ada polisi yang menghubungi rumah. Mobil yang dibawa kabur oleh sopir ternyata atas nama Nungski. Mobil tersebut menabrak orang atau entah menabrak apa dan ditinggal ditengah jalan. Hingga polisi mencurigai mobil yang parkir berhari-hari dijalan itu. Sampainya mobil dirumah, mobil tersebut ternyata masih guarantee sehingga bisa diganti dengan yang baru. Sesimple itulah Tawakkal, maka akan berbuah manis diakhirnya. Saya sampaikan itu simple namun bagi yang menjalaninya, seperti ibunya Nungski tentu saja butuh effort yang besar dalam menjalaninya. 

Melihat skala usaha Haji Jabir maka bisnis ini belum besar sekali namun cukup dan sepertinya berlebih untuk keluarga Nungski. Yang saya cermati adalah Haji Jabir merintis usaha satu persatu, mantain sendiri sehingga tidak ekspansif membuka usaha-usaha baru. Untuk bengkel tronton dan truk inipun Haji Jabir bertugas sebagai marketingnya. Nampak pula Haji Jabir turun ke bengkel untuk mengecek pengelasan dan lain-lain. Benar-benar passioned, memang harus demikian saya rasa lantaran bengkel merupakan bisnis services. Menyikapi keberhasilan bisnisnya saat ini, Ibunya Nungski dengan rendah hati menamakan itu semua adalah rezekinya anak-anak, saat anak-anak butuh biaya pendidikan ya diberilah oleh Alloh untuk itu. Itulah Qonaah. Saat dulu menjadi istri seorang sopir Ibu Nungski bersyukur dengan rezeki yang ada, saat ini saat menjadi isteri pebisnis bengkel tronton dan trukpun tetap rendah hati, bahkan itu semua adalah rezekinya anak-anak yang diberikan Alloh SWT lewat mereka Haji Jabir dan Isteri. Itulah Qonaah. Selalu bisa bersyukur dan merasa cukup tentang keadaan apapun yang diberikan oleh Alloh SWT.

Selain bersilaturrahim ke rumah Nungski, saya dan beberapa teman juga berkesempatan mengunjungi air terjun Monthel di kaki gunung Muria. Hari itu adalah hari Jum’at. Banyak sekali rombongan-rombongan peziarah ke Makam sunan gunung Muria. Mereka menggunakan bus-bus antar provinsi dan banyak pula yang mengendarai kendaraan pribadi. Tradisi ziarah kubur ke makam-makan para wali memang merupakan pemandangan yang tak asing di Kudus dan sekitarnya dan sepertinya ini umum di tanah jawa. Tak hanya di Jawa Tengah saja namun juga di Jawa Timur dan mungkin Jawa Barat. Bahkan dari Jakarta juga marak rombongan-rombongan zarah kubur kemakam-makam keturunan Rosululloh SAW generasi kesekian dan sebagainya. Ada apa sebenarnya? Dasarnya apa mereka berziarah?

Menurut juru kunci makam syech Abu bakar dan penjaga kamar mandi di pulau Panjang yang sempat kami kunjungi pada hari sabtu. Tradisi ziarah kubur berasal dari gendhingnya salah satu sunan yang saat ini kita tahu lagu itu dipopulerkan oleh opik Tombo ati. Pada perkara kelima tombo ati disebutkan dengan “wong kang soleh kumpulono” /berkumpullah dengan orang sholeh. Makam-makam yang didatangi adalah figur-figur orang-orang sholeh yang jasadnya telah terkubur. Namun rohnya masih ada dialam lain dan mereka itu mampu melihat kita di dunia, hanya saja tidak dapat berkomunikasi. Maka melalui perantara berdoa inilah media yang tersampaikan untuk memaknai berkumpul dengan orang-orang sholeh. Para peziarah datang, mengaji, bersolawat dan mendoakan itu saja. Menurut saya tradisi itu masih tak menjadi menyimpang dari tradisi Islam. Boleh-boleh saja namun jika sudah ditambahi dengan klenik, meminta-minta pada roh-roh halus di makam itu yang menurut saya tidak boleh.

Mengapa tradisi ziarah kubur masih ada saat ini, dan penganut tradisi ini biasanya dari level menengah kebawah menurut pengamatan saya. Tradisi ziarah kubur yang biasanya dilakukan di bukit-bukit seperti di Gunung Muria atau pulau-pulau yang jauh dari lingkungan penduduk, seperti di Pulau Panjang, yang harus ditempuh selama kurang - lebih lima belas menit dari pantai kartini Jepara. Merupakan proses pengajaran dari para wali yang belum sempurana dalam ajarannya. Ini bagi ziarah kubur yang merupakan tradisi yang berakar pada sunan atau para wali di Jawa. Para wali mengajarkan Islam dengan perlahan-lahan kepada masyarakat. Saat itu masyarakat kita sangat kental dengan tradisi animisme (menyembah roh-roh halus) dan dinamisme. Nah proses pengalihan yang belum sempurna terjadi ketika merubah proses tradisi animisme dan dinamisme dalam tradisi Islam ( menyembah Alloh SWT). Pola yang ada dalam masyrakat akan dialihkan esensinya dari menyembah roh-roh halus menjadi mendoakan arwah sunan dan bersholawat dan membaca al-qur’an. Maka esensi ketauhidan (keesaan) Alloh sudah tercapai. Hanya saja proses kelanjutan dakwah/ pendidikan para wali ini terputus generasinya. Sehingga belum paripurna penyampaian ketuhidan (keesaan Alloh) serta bagaimana  tradisi Islam terhadap yang sudah dikuburkan.

Maka hingga saat ini tradisi ziarah kubur masih menjadi ritual penting bagi mereka yang memahami Islam melalui Nahdhatul Ulama (NU). Wrga Nahdhiyin memang berbasis tradisional dan memang menyasar segmen menengah kebawah. Sehingga tradisi ziarah kubur juga masih tumbuh subur dalam kalangan Nahdhiyin. Beberapa waktu lalu, media mengabarkan bahwa uang infak pengunjung makan Gus Dur di Jawa Timur saja bisa menghasilkan Rp.2 Milyar selama satu tahun. Jadi bisa kita lihat betapa suburnya tradisi ziarah kubur di kalangan Nahdhiyin. Tentu berbeda dengan warga yang memahami Islam dengan tradisi Muhammadiyah. Muhammadiyah lebih terbukla dan menyasar segmentasi berpendidikan sehingga proses belum paripurnanya dakwah para wali bisa dilanjutkan dengan terus berupaya memodernkan Islam yang memang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka bagi warga Muhammadiyah berziarah kubur bukanlah tradisi yang yang digandrungi. Mendoakan arwah bisa dilakukan dari rumah, tidak harus berziarah ke makamnya.

Saya menyebutkan dua ormas besar NU dan Muhammadiyah karena memang kedua ormas tersebut besar di Indonesia. Namun saat ini marak sekali peziarah yang bukan dari warga Nahdhiyin, namun dari pengajian-pengajian yang diadakan oleh habib-habiab. Fenomena tumbuh suburnya ustadz dengan genre habib-habib saat ini juga merupakan fenomena pergerakan tradisi Islam.  Di Jakarta massanya besar sekali, hingga sering menjadikan kemacetan yang panjang jika genre pengajian Habib-habib ini sedang berlangsung. Mereka juga mengadakan ziarah ke makam-makam habib-habiab atau syech-syech yang jika dirunut merupakan turunan Rosululloh kesekian. Semakin rumit dan mundur menurut saya dakwahnya para wali/sunan. Harusnya kita lanjutkan pencerahan para wali dalam dakwahnya, jangan malah mundur atau stagnan pada pencapaian dakwahnya genre para wali dengan wajah tradisi berbeda misalnya NU dan genre Habib-Habib. Wollohualam Bishowab....

Itulah sekilas pandangan saya mengamati perjalanan silaturrahim saya bersama beberapa teman ke rumah Nungski dan perjalanan liburan ke air terjun Monthel di kaki gunung Muria Kudus dan ke Pantai Kartini dan Pulau Panjang.  Sebelum kembali ke Semarang, kami tak mau melewatkan kuliner khas Kudus Garang Asem. Menyenangkan dan harapannya fresh untuk besok masuk kuliah lagi. Terima kasih Nungski dan teman-teman, di lain kesempatan semoga kita bisa berlibur bersama kembali.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transfer Segmen Dakwah

 "Kita yang butuh dakwah, bukan dakwah yang butuh kita." Pepatah itu kerap kita dengar. Memang pada kenyataannya dakwah akan tetap...